Jumat, 12 Desember 2008

SENECA (4 - 65 M): Memilih Bunuh Diri daripada Dibunuh Kaisar Nero


Oleh Suhening Sutardi (08158871863, Email: heningsutardi@gmail.com)

Romawi sedikit sekali menghasilkan filsuf. Salah satu di antara yang sedikit itu bernama Seneca. Dalam sejarah filsafat, Seneca dicatat sebagai filsuf hipokrit, bahkan mungkin pengecut. Seneca dapat memaknai kemiskinan sebagai hal mulia, namun dia sempat bergelimang harta dan uang. Seneca berada di tengah-tengah orbit kekuasaan Kaisar Nero. Dia berakrobat sebagai penasihat politik para kaisar. Alhasil selain punya kawan politik, Seneca pun memiliki musuh politik. Ironisnya ketika Seneca menjadi target intrik politik dan bernasib sial dihajar fitnah macam-macam skandal, Kaisar Nero tak berpihak pada dirinya. Padahal selagi mudanya, kaisar super jahanam itu belajar pada Seneca.

Kekejian Kaisar Nero tak terlawankan. Agrippina, ibu yang melahirkannya saja dibunuh. Juga Octavia, wanita yang diperistrinya tak luput dari pedang maut Nero. Apalagi Seneca yang hanya guru dan penasihat politik Nero. Sejak tahun 62 M, Nero memang mulai memandang sebelah mata pendapat-pendapat Seneca. Sang kaisar hobi main seks, menculik dan membunuh siapa saja yang dianggap membahayakan kedudukannya. Istri-istri para senator dipaksa pesta seks sambil menyaksikan suami mereka dibunuh algojo di depan mata. Sebagai bentuk keberatan, Seneca pernah dua kali mengundurkan diri sebagai penasihat politik. Namun Nero menolaknya. Bahkan kaisar itu bersumpah lebih baik mati ketimbang menyakiti gurunya.

Tetapi apa yang terjadi tiga tahun kemudian? Tentu saja apa yang diucapkan Nero hanyalah sumpah gombal. Pada April 65 M, Kaisar berusia 28 tahun itu mengirimkan utusan ke rumah Seneca. Sang filsuf menyadari dirinya telah disalahpahami ikut serta dalam konspirasi untuk meng-kudeta kaisar yang kejam. Tidak ada bukti keterlibatan Seneca. Nero tidak peduli. Keputusan untuk menghukum mati Seneca telah diumumkan.

Ketika utusan membacakan keputusan Kaisar Nero, semua yang mendengar menggigil ketakutan. Sebagian menangis. Dengan sangat tenang, Seneca meminta Paulina, istrinya untuk memotong urat nadinya. Darah pun mengucur. Para prajurit utusan Nero blingsatan. Bagai mengulang tragedi Socrates 400 tahun sebelumnya, Seneca pun meminta pada algojo untuk menyiapkan secawan racun. Pasalnya, bunuh yang dijalani Seneca berlangsung amat lambat. Sungguhpun Seneca menjalaninya dengan tetap tenang.

Kematiannya sungguh menyayat. Para sahabat dan keluarga mengiringi dengan tangis dan jeritan histeris. Seneca masih sempat menasihati mereka. “Tentu saja tidak ada seorang pun yang tidak menyadari bahwa Nero memang bengis. Setelah membunuh saudara dan ibunya, tugas selanjutnya adalah membunuh guru-gurunya. Tetaplah kalian berbahagia,” kata Seneca di sisa-sisa nafar terakhirnya.

Seneca lebih memilih bunuh diri di depan istri, anak dan para sahabat-kerabatnya daripada datang menjemput hukuman mati di tangan algojo Nero. Richard Osborne menulis agak nyinyir atas bunuh diri Seneca. “Kematian seorang filsuf karena keyakinannya, misalnya Socrates, terasa sebagai tragedi. Tetapi dalam kasus Seneca, peristiwa itu lebih mirip lelucon,” tulis Orborne dalam buku “Philosophy for Beginners” yang sudah diterjemahkan P. Hardono Hadi, “Filsafat untuk Pemula”, terbitan Kanisius, Yogyakarta.

Sedangkan Alain de Botton melalui bukunya, “The Consolations of Philosophy” diterjemahkan Ilham B Saenong, terbitan Teraju, Jakarta, 2003, mencatat bahwa kematian Seneca tetap dapat dimaknai secara positif. Walaupun mengambil jalan kematian melalui bunuh diri, Seneca menjalaninya dengan penuh ketenangan. Sebagaimana diriwayatkan Tacitus, Seneca merespon para sahabat yang bersedih hati dengan bertanya kemana perginya filsafat mereka dan bagaimana mereka menghadapi kemalangan seperti itu. Seneca berusaha tabah hingga nafas terakhirnya. (***)

Tidak ada komentar: