Oleh Suhening Sutardi (08158871863, email: heningsutardi@gmail.com)
Namanya jarang disebut dalam panggung sejarah filsafat. Marry lebih dikedepankan sebagai aktivis feminisme, bahkan digolongkan super radikal. Melalui buku “Vindication of the Right of Woman”, Marry menuntut persamaan hak secara mutlak dan dihilangkannya diskriminasi terhadap perempuan. Ia mengecam dominasi laki-laki. Dengan lantang Marry menuntut pemerintah melakukan reformasi hukum yang menjamin hak-hak kaum perempuan setara dengan kaum lelaki.
Pendapat Marry itu untuk zaman modern sekarang ini saja masih dinilai terlalu maju. Lebih-lebih pada zamannya. Karena itu Marry dianggap liar, radikal dan tidak populer. Walaupun pada masa itu gerakan liberalisme sedang naik daun, namun pemikiran Marry hanya sedikit yang merespon.
Sebaliknya nada sumbang diarahkan kepadanya. Marry dijuluki sebagai ular berfilsafat, hyena bergaun, liar dan tidak beradab. Ini lantaran pendapatnya, bahwa akal budi tidak mempunyai seks. Marry membela kebebasan pribadi kaum perempuan yang tidak pernah diperjuangkan oleh para filsuf semacam Roussseau sekalipun.
Perempuan filsuf model Marry jelas sangat langka. Tampak dia harus berjuang sendirian menghadapi dominasi dunia pria. Dari zaman filsafat klasik Yunani hingga filsafat postmodernisme pun, kaum perempuan tetaplah minoritas di lapangan berpikir. Kondisi demikian sesungguhnya secara substansial tidaklah pernah berubah, kendati gerakan feminis tidak pernah mati. Bahkan untuk dewasa ini, feminisme malah dipandang nyinyir karena tak jelas lagi apa yang hendak diperjuangkan.
Marry dicatat sebagai perintis penting gerakan feminis. Namun pemikiran filosofisnya dicibir kaum reaksioner. Bagaimana sosoknya sebagai perempuan permikir sangat fenomenal. Usianya yang pendek sangat boleh jadi membendung artikulasi pemikirannya atau lantaran Marry kelewat radikal.
Marry meninggal dalam usia 38 tahun saat tengah melahirkan. Hukum kehidupan seolah menyodorkan kepada dirinya, apa yang terbaik bagi seorang Marry. Dia tetap perempuan, harus melahirkan dan itu berarti pertaruhan nyawa. Sedangkan lelaki tak pernah melahirkan dan terus mendominasi kehidupan. (***)
Namanya jarang disebut dalam panggung sejarah filsafat. Marry lebih dikedepankan sebagai aktivis feminisme, bahkan digolongkan super radikal. Melalui buku “Vindication of the Right of Woman”, Marry menuntut persamaan hak secara mutlak dan dihilangkannya diskriminasi terhadap perempuan. Ia mengecam dominasi laki-laki. Dengan lantang Marry menuntut pemerintah melakukan reformasi hukum yang menjamin hak-hak kaum perempuan setara dengan kaum lelaki.
Pendapat Marry itu untuk zaman modern sekarang ini saja masih dinilai terlalu maju. Lebih-lebih pada zamannya. Karena itu Marry dianggap liar, radikal dan tidak populer. Walaupun pada masa itu gerakan liberalisme sedang naik daun, namun pemikiran Marry hanya sedikit yang merespon.
Sebaliknya nada sumbang diarahkan kepadanya. Marry dijuluki sebagai ular berfilsafat, hyena bergaun, liar dan tidak beradab. Ini lantaran pendapatnya, bahwa akal budi tidak mempunyai seks. Marry membela kebebasan pribadi kaum perempuan yang tidak pernah diperjuangkan oleh para filsuf semacam Roussseau sekalipun.
Perempuan filsuf model Marry jelas sangat langka. Tampak dia harus berjuang sendirian menghadapi dominasi dunia pria. Dari zaman filsafat klasik Yunani hingga filsafat postmodernisme pun, kaum perempuan tetaplah minoritas di lapangan berpikir. Kondisi demikian sesungguhnya secara substansial tidaklah pernah berubah, kendati gerakan feminis tidak pernah mati. Bahkan untuk dewasa ini, feminisme malah dipandang nyinyir karena tak jelas lagi apa yang hendak diperjuangkan.
Marry dicatat sebagai perintis penting gerakan feminis. Namun pemikiran filosofisnya dicibir kaum reaksioner. Bagaimana sosoknya sebagai perempuan permikir sangat fenomenal. Usianya yang pendek sangat boleh jadi membendung artikulasi pemikirannya atau lantaran Marry kelewat radikal.
Marry meninggal dalam usia 38 tahun saat tengah melahirkan. Hukum kehidupan seolah menyodorkan kepada dirinya, apa yang terbaik bagi seorang Marry. Dia tetap perempuan, harus melahirkan dan itu berarti pertaruhan nyawa. Sedangkan lelaki tak pernah melahirkan dan terus mendominasi kehidupan. (***)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar