Jumat, 12 Desember 2008

EMPEDOKLES (492-432 SM): Mentok Berfilsafat, Meloncat ke Kawah Etna


Oleh Suhening Sutardi (08158871863 Email: heningsutardi@gmail.com)

Filsuf satu ini kasihan juga nasibnya. Memang benar ungkapan, kalau tak kuat berfilsafat jadinya ya gila atau bunuh diri. Filsuf yang juga hobi bikin puisi ini pada zamannya tergolong aneh. Dia mengatakan, tanaman seperti halnya hewan dan manusia juga punya hasrat seks. Mungkin maksudnya sama-sama berkembang biak. Namun oleh masyarakat awan pendapat begitu dijadikan bahan tertawaan. Empedokles pun dicemooh setengah gila.

Ajaran filsafat Empedokles sesungguhnya sangat alamiah. Hanya saja pada waktu hidupnya, mayoritas manusia lebih mempercayai mitos-mitos, otoritas dewa dan mistis, maka cara berfikir model Empedokles dianggap nyeleneh. Filsuf kelahiran Akragas, Sisilia ini mengombinasikan sikap hidup mistis yang sudah mentradisi di masyarakatnya dengan berfikir filsafat alamiah sebagai hal baru.

Empedokles menyetujui keyakinan, bahwa di alam semesta ini tiada ruang kosong. Alam semesta tersusun dari empat anasir utama, yaitu air, udara, api dan tanah. Keempat anasir ini mempunyai kualitas yang sama, yaitu tidak berubah. Segala sesuatu di alam semesta pasti terdiri dari empat anasir. Perbedaan benda-benda antara satu dengan lainnya akibat campuran yang berbeda-beda. Misalnya tulang terdiri dari dua bagian anasir tanah, dua bagian anasir air dan empat bagian anasir api. Demikian seterusnya.

Filsuf yang tidak begitu terkenal dan jarang dikutip pendapatnya dalam sejarah filsafat, juga mengembangkan teori evolusi tentang penciptaan alam semesta. Pada mulanya ada dua kekuatan saling berlawanan, yaitu cinta (filotes) dan benci (neikos). Cinta memiliki sifat menyatukan, sedangkan benci bersifat memisahkan. Dua kekuatan itu sekian lamanya mempersatukan empat unsur alam semesta secara harmonis. Namun kekuatan benci secara berangsur-angsur merobek keselarasan yang ada.

Melalui empat zaman, cinta dan benci silih berganti saling mendominasi. Pada zaman pertama, cinta lebih dominan. Alam semesta bagaikan bola yang keempat anasirnya menyatu secara sempurna.

Pada zaman kedua, kekuatan benci mulai mengimbangi kekuatan cinta. Makhluk-makhluk hidup dapat mati. Empedokles menyatakan hidup di zaman kedua ini.

Pada zaman ketiga, kekuatan benci akhirnya mendominasi. Kekuatan cinta tersingkir di paling pinggir. Alam semesta menjadi kocar-kacir. Mungkin dalam bahasa sekarang sejenis dengan kiamat.

Pada zaman keempat, terjadi lagi keseimbangan. Kekuatan cinta memperbaiki kerusakan-kerusakan sehingga menuju ke harmonisasi.

Uniknya menurut Empedokles, tahap-tahap tersebut berulang silih berganti secara teratur. Dalam menjelaskan berbagai pertanyaan mengenai alam semesta, asal-usul dan pekermbangannya, secara umum dimaklumi oleh masyarakat kala itu.

Hal paling kontoversial adalah ketika Empedokles menjelaskan tentang penyucian jiwa. Empedokles pun mempercayai adanya perpindahan jiwa atau yang dikenal sebagai inkarnasi. Dia mengajarkan ilmu menyucikan diri. Empedokles pun menyatakan sudah sampai pada tahap setara dengan Sang Maha Suci. Tentu saja itu mengundang reaksi masyarakatnya.

Orang-orang yang tidak dapat menyetujui puncak filsafatnya meminta bukti tingkat kesucian Empedokles. Pada usia ke-60 tahunnya sang filsuf mengajak masyarakat untuk mendaki Gunung Etna atau menunggu di kaki bukit bagi yang tidak mau mendaki. Hanya beberapa orang saja bersedia mengikuti Empedokles. Itu pun tidak sampai ke puncaknya.

Sedangkan Empedokles menengadah ke langit sejenak, begitu sampai di puncak Gunung Etna. Dia berdiri tegar di bibir kawah mengaga ditingkahi asap bau belerang. Nampaknya Empedokles sudah mentok berfilsafat. Serta merta sang filsuf meloncat ke kawah Gunung Etna. Empedokles terpanggang hidup-hidup, menjadi bubur panas dalam adukan panasnya lahar kawah Etna. (***)

SENECA (4 - 65 M): Memilih Bunuh Diri daripada Dibunuh Kaisar Nero


Oleh Suhening Sutardi (08158871863, Email: heningsutardi@gmail.com)

Romawi sedikit sekali menghasilkan filsuf. Salah satu di antara yang sedikit itu bernama Seneca. Dalam sejarah filsafat, Seneca dicatat sebagai filsuf hipokrit, bahkan mungkin pengecut. Seneca dapat memaknai kemiskinan sebagai hal mulia, namun dia sempat bergelimang harta dan uang. Seneca berada di tengah-tengah orbit kekuasaan Kaisar Nero. Dia berakrobat sebagai penasihat politik para kaisar. Alhasil selain punya kawan politik, Seneca pun memiliki musuh politik. Ironisnya ketika Seneca menjadi target intrik politik dan bernasib sial dihajar fitnah macam-macam skandal, Kaisar Nero tak berpihak pada dirinya. Padahal selagi mudanya, kaisar super jahanam itu belajar pada Seneca.

Kekejian Kaisar Nero tak terlawankan. Agrippina, ibu yang melahirkannya saja dibunuh. Juga Octavia, wanita yang diperistrinya tak luput dari pedang maut Nero. Apalagi Seneca yang hanya guru dan penasihat politik Nero. Sejak tahun 62 M, Nero memang mulai memandang sebelah mata pendapat-pendapat Seneca. Sang kaisar hobi main seks, menculik dan membunuh siapa saja yang dianggap membahayakan kedudukannya. Istri-istri para senator dipaksa pesta seks sambil menyaksikan suami mereka dibunuh algojo di depan mata. Sebagai bentuk keberatan, Seneca pernah dua kali mengundurkan diri sebagai penasihat politik. Namun Nero menolaknya. Bahkan kaisar itu bersumpah lebih baik mati ketimbang menyakiti gurunya.

Tetapi apa yang terjadi tiga tahun kemudian? Tentu saja apa yang diucapkan Nero hanyalah sumpah gombal. Pada April 65 M, Kaisar berusia 28 tahun itu mengirimkan utusan ke rumah Seneca. Sang filsuf menyadari dirinya telah disalahpahami ikut serta dalam konspirasi untuk meng-kudeta kaisar yang kejam. Tidak ada bukti keterlibatan Seneca. Nero tidak peduli. Keputusan untuk menghukum mati Seneca telah diumumkan.

Ketika utusan membacakan keputusan Kaisar Nero, semua yang mendengar menggigil ketakutan. Sebagian menangis. Dengan sangat tenang, Seneca meminta Paulina, istrinya untuk memotong urat nadinya. Darah pun mengucur. Para prajurit utusan Nero blingsatan. Bagai mengulang tragedi Socrates 400 tahun sebelumnya, Seneca pun meminta pada algojo untuk menyiapkan secawan racun. Pasalnya, bunuh yang dijalani Seneca berlangsung amat lambat. Sungguhpun Seneca menjalaninya dengan tetap tenang.

Kematiannya sungguh menyayat. Para sahabat dan keluarga mengiringi dengan tangis dan jeritan histeris. Seneca masih sempat menasihati mereka. “Tentu saja tidak ada seorang pun yang tidak menyadari bahwa Nero memang bengis. Setelah membunuh saudara dan ibunya, tugas selanjutnya adalah membunuh guru-gurunya. Tetaplah kalian berbahagia,” kata Seneca di sisa-sisa nafar terakhirnya.

Seneca lebih memilih bunuh diri di depan istri, anak dan para sahabat-kerabatnya daripada datang menjemput hukuman mati di tangan algojo Nero. Richard Osborne menulis agak nyinyir atas bunuh diri Seneca. “Kematian seorang filsuf karena keyakinannya, misalnya Socrates, terasa sebagai tragedi. Tetapi dalam kasus Seneca, peristiwa itu lebih mirip lelucon,” tulis Orborne dalam buku “Philosophy for Beginners” yang sudah diterjemahkan P. Hardono Hadi, “Filsafat untuk Pemula”, terbitan Kanisius, Yogyakarta.

Sedangkan Alain de Botton melalui bukunya, “The Consolations of Philosophy” diterjemahkan Ilham B Saenong, terbitan Teraju, Jakarta, 2003, mencatat bahwa kematian Seneca tetap dapat dimaknai secara positif. Walaupun mengambil jalan kematian melalui bunuh diri, Seneca menjalaninya dengan penuh ketenangan. Sebagaimana diriwayatkan Tacitus, Seneca merespon para sahabat yang bersedih hati dengan bertanya kemana perginya filsafat mereka dan bagaimana mereka menghadapi kemalangan seperti itu. Seneca berusaha tabah hingga nafas terakhirnya. (***)

SOCRATES (469-399): Dengan Jiwa Penuh Tanggung Jawab Menyeruput Racun Kematian


Oleh Suhening Sutardi (08158871863, Email: heningsutardi@gmail.com)

Inilah prototipe filsuf sejati. Mempertahankan kebenaran sikap hidup yang diyakininya kendati berhadapan dengan hukum negara. Pengadilan Athena menghukum mati Socrates dengan meminum racun. Filsuf ini sesungguhnya dapat saja melarikan diri, namun Socrates memilih taat hukum dengan rasa penuh tanggung jawab. Inilah tragedi kemanusiaan, perbedaan berpikir dikriminalisasi hingga bertemu kematian.

Socrates diajukan ke pengadilan oleh tiga warga Athena yang melakukan “class-action” mewakili masyarakat Athena pembenci Socrates. Mereka adalah penyair Meletus, politikus Anytus dan orator Lycon. Tuduhannya: Socrates mengingkari dewa-dewa penguasa kota, merusak jaringan sosial dan menghasut kaum muda sehingga hancurlah sendi-sendi kehidupan masyarakat.

Pengadilan dimulai dengan dakwaan pihak penuntut, diikuti dengan sanggahan dari pembela. Lima ratus warga bertindak sebagai juri. Hasil keputusan sidang pengadilan, 280 juri menyatakan Socrates bersalah, sisanya 220 juri menyatakan Socrates tidak bersalah. Sangat tipis perbedaannya. Socrates tidak marah. Dia berbesar hati atas sikap hidupnya yang disalahpahami oleh 56% juri.

Socrates dikambinghitamkan atas situasi buruk yang terjadi di Athena. Karikatur bikinan Aristhopanes yang mengolok Socrates sebagai sosok penghasut berhasil membangun opini miring. Sebagian masyarakat Athena dapat digiring untuk mempercayai bahwa Socrates adalah sumber segala bencana.

Plato, salah seorang muridnya menganjurkan supaya Socrates melarikan diri saja. Plato yang waktu itu berusia 29 tahun menyatakan dapat mempersiapkan proses pelarian untuk gurunya yang berusia 70 tahun. Namun Socrates hanya menyatakan terima kasih dan hukuman meminum racun kematian akan dilaksanakannya dengan rasa ikhlas.

Sikap Sokrates yang simpatik menarik perhatian penguasa penjara. Para murid dan pendukungnya datang menjenguk untuk beberapa hari sebelum eksekusi.Mereka tidak dapat menyembunyikan kepedihan mendalam. Socrates yang mengabdikan diri pada kebijaksanaan dan melayani orang lain dengan penuh semangat tidak memungut bayaran malah dieksekusi bagaikan pesakitan kriminal.

Mereka yang mengunjungi Socrates yaitu, Phaedo, Crito, Critobulos, Apollodorus, Hermogenes, Epigenes, Aeschines, Antishenes, Cresippus, Menexenus, Simmias, Cebes, Phaedondas, Euclides dan Terpsion. Ketika algojo mengulurkan cawan racun, Socrates menyambutnya dengan tenang. Ia menyeruput racun dengan rasa humor yang tinggi tanpa sekitipun cemas. Karena sang filsuf yakin, kelak pada akhirnya warga Athena akan dapat mengambil keputusan jernih bahwa dirinya tidak bersalah.

Socrates telah meramalkan kebenaran sikap hidupnya. Tidak lama setelah kematian Socrates, mereka yang menjebloskan filsuf itu ke penjara dihukum mati juga oleh warga. Penyair Meletus, politikus Anytus dan orator Lycon digugat balik warga kota Athena hingga kemudian divonis mati. Para juri yang menghukum Socrates pun diisolasi warga. Sebagian ada yang menggantung diri karena depresif.

Seiring dengan itu warga Athena membangun patung perunggu Socrates. Pemahatnya Lysippus yang tersohor dan berpengalaman membuat patung. Socrates memperoleh nama harum. Dia taat hukum dan tidak melarikan diri. Dia yakin kebenaran sikap hidupnya akan dikenang oleh peradaban yang memang bisa menghargai filsafatnya. Sepanjang sejarah filsafat, Socrates adalah teladan tentang sikap hidup yang selalu mencintai kebenaran dan kebijaksanaan. (***)

MARRY WOLLSTONECRAFT (1759-1797): Dianggap Liar, Tak Terkenal dan Mati Muda


Oleh Suhening Sutardi (08158871863, email: heningsutardi@gmail.com)

Namanya jarang disebut dalam panggung sejarah filsafat. Marry lebih dikedepankan sebagai aktivis feminisme, bahkan digolongkan super radikal. Melalui buku “Vindication of the Right of Woman”, Marry menuntut persamaan hak secara mutlak dan dihilangkannya diskriminasi terhadap perempuan. Ia mengecam dominasi laki-laki. Dengan lantang Marry menuntut pemerintah melakukan reformasi hukum yang menjamin hak-hak kaum perempuan setara dengan kaum lelaki.

Pendapat Marry itu untuk zaman modern sekarang ini saja masih dinilai terlalu maju. Lebih-lebih pada zamannya. Karena itu Marry dianggap liar, radikal dan tidak populer. Walaupun pada masa itu gerakan liberalisme sedang naik daun, namun pemikiran Marry hanya sedikit yang merespon.

Sebaliknya nada sumbang diarahkan kepadanya. Marry dijuluki sebagai ular berfilsafat, hyena bergaun, liar dan tidak beradab. Ini lantaran pendapatnya, bahwa akal budi tidak mempunyai seks. Marry membela kebebasan pribadi kaum perempuan yang tidak pernah diperjuangkan oleh para filsuf semacam Roussseau sekalipun.

Perempuan filsuf model Marry jelas sangat langka. Tampak dia harus berjuang sendirian menghadapi dominasi dunia pria. Dari zaman filsafat klasik Yunani hingga filsafat postmodernisme pun, kaum perempuan tetaplah minoritas di lapangan berpikir. Kondisi demikian sesungguhnya secara substansial tidaklah pernah berubah, kendati gerakan feminis tidak pernah mati. Bahkan untuk dewasa ini, feminisme malah dipandang nyinyir karena tak jelas lagi apa yang hendak diperjuangkan.

Marry dicatat sebagai perintis penting gerakan feminis. Namun pemikiran filosofisnya dicibir kaum reaksioner. Bagaimana sosoknya sebagai perempuan permikir sangat fenomenal. Usianya yang pendek sangat boleh jadi membendung artikulasi pemikirannya atau lantaran Marry kelewat radikal.

Marry meninggal dalam usia 38 tahun saat tengah melahirkan. Hukum kehidupan seolah menyodorkan kepada dirinya, apa yang terbaik bagi seorang Marry. Dia tetap perempuan, harus melahirkan dan itu berarti pertaruhan nyawa. Sedangkan lelaki tak pernah melahirkan dan terus mendominasi kehidupan. (***)

NIETZSCHE (1844-1900): Membunuh Tuhan, lalu Gila dan Mati dalam Kesengsaraan


Oleh Suhening Sutardi (08158871863, Email: heningsutardi@gmail.com)


Inilah paradoks filsafat. Karya-karya Friedrich Wilhelm Nietzche kelahiran 15-10-1844 bagi kebanyakan orang tidak memberikan manfaat praktis. Bahkan sangat boleh jadi hanya akan mengacaukan akal dan iman. Nietzche sendiri babak belur dengan pergulatan batin dan pikirannya. Sang bunda sudah mengingatkan dari awal agar Nietzsche berserah diri kepada Tuhan, sabar dan tawakal menjalani penderitaan hidup seperti apapun keadaannya. Namun Nietzsche justru menjauh dari Tuhan, malah menyebutnya Tuhan sudah mati. Penderitaan demi penderitaan pun datang silih berganti. Mulai macam-macam penyakit, patah hati ditolak sang wanita pujaan dan merasa diri paling benar lantas membuatnya gila hingga merenggut nyawanya tengah kesepian nan panjang.


Merasa Paling Hebat

Tragis dan ironis. Namun Nietzche tetap berbangga diri dan meramalkan namanya akan terus berkibar sepanjang masa. “Sudah takdirku menjadi manusia paling hebat. Mari kita anggap, orang-orang tetap diizinkan membaca karyaku sekitar tahun 2000. Seseorang yang memiliki karyaku merupakan anugerah pada dirinya,” tegas Nietzsche pada musim gugur 1888.

Panggung sejarah filsafat memang mencatat nama Nietzsche dan karyanya terus dibicarakan. Nietzsche dijuluki sebagai filsuf algojo kematian Tuhan. Dia memilih jadi atheis militan. Padahal latar belakang keluarganya tergolong penganut kristen yang taat, bahkan jadi pemuka agama.

Ayahnya, Karl Ludwig Nietzsche (1756-1862) adalah seorang pendeta. Begitu pula kedua kakeknya, Friedrich August Ludwig (1826-1897) dari pihak ayah maupun kakeknya David Ernst Oehler dari pihak ibu juga pendeta terhormat. Namun bila iman adalah hidayah dari Tuhan, seorang anak nabi pun belum tentu mempercayai Tuhan. Sejarah nabi-nabi memperlihatkan, Nabi Nuh hanya bila mengelus dada ketika anaknya menolak untuk beriman kepada Tuhan.

Nietzsche memilih jalannya sendiri yang sangat bertolak belakang dengan keyakinan Kristen yang dianut keluarga besarnya. Kata Nietzsche, “Bagiku Kristianitas adalah korupsi terbesar yang bisa dipikirkan manusia. Aku sebut Kristianitas salah satu kutukan terbesar, kebejatan moral terbesar. Seseorang sebaiknya memakai sarung tangan ketika membaca Perjanjian Baru.Segala isinya pengecut, semuanya penipuan diri dan menutup mata orang pada dirinya sendiri.”

Tidak ada penghargaan Nietzsche pada agama Kristen. Militansinya menyerang kepercayaan kepada Tuhan sangat berlebihan dan memang inilah kekuatan Nietzsche. Dalam bukunya yang sangat terkenal, “Also Sprach Zarathustra”, Nietzsche berkali-kali menegaskan Tuhan sudah mati.


Penuh Derita, Gila dan Kesepian

Tampaknya penderitaan batin Nietzsche di masa kecil sangat mempengaruhi pergulatan batinnya. Pada 1849 saat usia Nietzsche baru 4 tahun, ayahnya meninggal dunia. Setahun kemudian, Joseph adik lelakinya juga meninggal. Franziska Oehler (1826-1897), ibu Nietzsche kemudian memilih pulang kampung. Nietzsche dibesarkan dengan dikelilingi para perempuan, mulai dari ibu, dua kakak perempuan, dua tante dan tentu saja neneknya.

Penderitaan batin tidak diakhirinya dengan berserah diri kepada Tuhan. Pada 1865 Nietszsche mengumukan dirinya sebagai pemikir bebas. Memang karir mengajarnya di Universitas Basel maju pesat. Namun seiring dengan itu kesehatannya berangsur-angsur merosot. Pada 1870 dia terserang penyakit disentri dan difteria. Lima tahun kemudian, 1875 Nietzsche sering menggelepar-gelepar terserang sakit kepala. Keadaan bertambah parah, ketika 1879 Nietzsche mengidap sakit mata, rabun dan setengah buta. Pada tahun itu Nietszche harus berhenti mengajar karena fisiknya tak memadai lagi tampil di depan para mahasiswa.

Penderitaan Nietzsche tidak sebatas itu. Dalam masalah asmara, Nietzsche juga berkali-kali patah hati karena perempuan pujaan menolak cintanya. Seperti dicatat Alain de Botton, soal penampilan jadi penghambat utama. Nietzsche memelihara kumis luar biasa tebal, bersikap malu-malu dan kaku. Pada 1876 misalnya, Nietzsche mencintai Mathilde Trampedach. Namun perempuan cantik berusia duapuluh tiga tahun menolak cinta Nietzsche tanpa alasan yang jelas. Paling konyol lagi dia mencintai Cosima, istri sahabatnya sendiri, Richard Wagner. Nietzsche memendam rasa cinta itu di balik kedok persahabatan yang tulus. Sampai suatu ketika Januari 1879 di tengah-tengah depresinya yang luar biasa Nietzsche mengirim kartu pos dengan nama samaran Dionysius kepada Cosima. Tulisnya, “Aku sangat mencintaimu.” Tentu saja cinta Nietzsche bertepuk sebelah tangan.

Selanjutnya pada 1882, Nietzsche berhadap dapat diterima oleh seorang perempuan yang dicintanya dan bisa menikah. Dia menjalin hubungan dengan seorang gadis berusia duapuluh satu tahun yang terpesona pada karya-karya Nietzsche. Perempuan bernama Lou Andreas-Salou tampak membuat hati Nietzsche berbunga-bunga. Dia mau diajak berlibur dua minggu di kawasan wisata hutan Tautenburg, Lucerne. Namun ketika Nietzsche mengatakan ingin menikahi Lou, jawaban yang diperoleh sangat menyakitkan. Lou hanya mengagumi filsafat Nietzsche, bukan untuk mencintai, apalagi menikah dengan sang filsuf.

Dunia seolah menyatakan Nietzsche layak menerima semua itu akibat pengingkarannya pada Tuhan. Dan Nietzsche memang tidak pernah mau meminta pertolongan Tuhan. Nietzsche bangga dengan filsafatnya sendiri. Namun hasil penjualan buku filsafat Nietzsche tidaklah menggembirakan. Sang filsuf juga mengalami kesulitan ekonomi. Dia tak mampu lagi beli baju baru. Ia tinggal di kamar kontrakan paling murah, itu pun sering terlambat bayar, tak bisa beli daging dan sosis kesukaannya. “Aku terabaikan bagai domba gunung,” keluhnya.

Sekiranya Nietzsche bertobat, kembali beriman kepada Tuhan dan berserah diri, mungkin tragedi tidak bertambah-tambah. Dengan rasa patah hati mendalam, Nietzsche semakin geram pada kehidupan. Pada Januari 1889, Nietzsche tak sanggup lagi menanggung beban penderitaan hidup sendirian. Nietzsche resmi dinyatakan gila. Dia berteriak-teriak menyerupai tokoh gila yang ditulis dalam bukunya. Aura negatif dari tokoh gila merajam sang penulisnya sendiri.

Sangat tragis. Anak pendeta itu jadi pesakitan rumah sakit jiwa. Nietzsche kemudian diikat, dinaikkan kereta api dari Turin menuju rumah sakit di Namburg agar dapat diawasi oleh ibunya yang tua renta dan kakak-kakak perempuannya. Sang profesor arheis didera kesepian panjang. Ibunya sangat sedih menyaksikan si anak sakit jiwa. Pada 1897, si ibu meninggal dalam usia 71 tahun. Sedangkan si anak meninggal tiga tahun kemudian, pada 1900 dalam usia 56 tahun.

Filsuf Nietzsche mengakhiri lakon kehidupan yang memilukan, tragis sekaligus ironis. Ajaran dan tragedi kehidupannya menjadi cermin tentang nasib filsuf atheis militan. Betapa klaim kehebatannya sangat terbatas, bahkan hanya menjadikan dirinya gila hingga nafas terakhirnya. Virus dan aura negatif kegilaan Nietszche masih terus melekat dalam karya-karya filsafatnya hingga akhir zaman. Sikapi ajaran filsafat Nietzsche dengan penuh seksama, berhati-hati dan jangan sampai masuk perangkap tragedi kehidupannya.

(***)

Rabu, 03 Desember 2008

Dr. Handoko Hardianto Putra, SpKJ, M.Sc Sempat Jadi Reporter dan Terus Aktif Menulis


Oleh Suhening Sutardi (08158871863, email: s.sutardi@gmail.com)


Dr. Handoko Hardianto Putra, SpKJ, M.Sc atau biasa dipanggil Dokter Hando ini layak diacungi jempol. Ketika memulai karirnya sebagai dokter umum, tak segan-segan dia menerjuni jurnalistik sebagai koresponden Panasea. Namanya tercatat di boks redaksi Majalah Kesehatan Populer itu pada kurun waktu tahun 1990-an. Padahal sehari-harinya waktu itu sudah sibuk memimpin Puskesmas Kecamatan Cijaku. Bahkan pada periode itu juga merangkap sebagai Kepala Puskesmas Kecamatan Panggarangan, Kabupaten Lebak, Jawa Barat, hingga 1993.
Lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Bali, 1990, ini pun setelah mengabdi di Puskesmas lalu bertugas pada Rumah Sakit Jiwa Pusat Bangli, Bali, 1994. Di tempat itulah Dokter Hando yang telah berpengalaman sebagai dokter umum mengembangkan minatnya pada ilmu kesehatan jiwa.
Terlebih ketika 1995-2000 bertugas sebagai staf medis pada Bagian Psikiatri Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo, Jakarta, keahliannya sebagai praktisi kesehatan jiwa makin berkembang. Pada periode ini didalaminya spesialisasi Kesehatan Jiwa di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia hingga menyandang gelar SpKJ atau sebutan profesional sebagai psikiater. Dokter Hando juga masih terus menulis laporan kasus ilmiah populer di beberapa jurnal kesehatan dan media massa.
Selain mengabdi di RS Bhayangkara Korbrimob, Depok, pernah pula sebagai Psikiater Konsultan di UNHCR Regional Indonesia, (2002 – 2003) dan Medical Advisor Eli Lilly Pharmaceutical Indonesia, ( 2003 – 2004). Juga sebagai Psikiater Praktek Swasta/Visiting Spesialis di Klinik Internasional SOS, RS Honoris, RS Mediros, Klinik Neuropsikiatri Kemanggisan, dan RS Gandaria, mulai tahun 2000 hingga sekarang.
Di luar kesibukan praktek profesi medis, Dokter Hando yang tetap rajin menulis ini sempat juga meluangkan waktu untuk mengajar pada Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP Jakarta ( sekarang Universitas Negeri Jakarta),1997-1998.
Kelahiran Yogyakarta, 5 Maret 1965 dari pasangan Prof. Hardianto Wibowo, MD dan Ibu Emyliana Maya Devi, B.Sc (almarhumah) ini sejak kecil dikenal aktif dan rendah hati. Bahkan meskipun ketika masih kuliah prestasinya sangat menonjol, Hando tidak terlalu berbangga-bangga diri. Padahal dia mengantongi berbagai prestasi. Antara lain sebagai Mahasiswa Terbaik Fakultas Kedokteran Universitas Udayana (1985), Juara II Lomba Penelitian Mahasiswa FK Universitas Udayana, (1986), Juara I Lomba Penelitian Mahasiswa FK Universitas Udayana, (1987), Mahasiswa Teladan I FK Universitas Udayana, tahun (1987), Mahasiswa Teladan II Universitas Udayana, (1988) dan menjadi Dokter Lulusan Terbaik II, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, (1990).
Prestasi semacam itu pun diraihnya ketika menjalankan profesi dokter bagi pelayanan masyarakat umum. Yaitu menjadi Dokter Teladan II, Kabupaten Lebak, Propinsi Jawa Barat, (1992). Bukti pribadinya yang rendah hati dan penuh pengabdian, Dokter Hando pernah bertugas di wilayah Aceh pada tahun 2001-2002 dan paska tsunami Desember 2004.
Dokter yang juga punya hobi menembak dan aktif di organisasi Perbakin ini pun telah menghasilkan banyak karya penelitian. Sejumlah karya tulisnya yang lain segera menyusul untuk dibukukan. Pengalaman praktek medisnya sangat mendukung bobot tulisan-tulisannya. Bahkan dokter murah hati ini mengelola web-blog dengan alamat: http://www.lucky-info.blogspot.com/.
Selain itu Dr. Handoko Hardianto Putra, SpKJ, M.SC telah menerbitkan dua buku. Pertama, yaitu berjudul: “Narkoba, Stres Polisi dan Bunuh Diri” (Bersama Drs. Suhening Sutardi), Penerbit Pustaka Yashiba, Jakarta, 2008. Kedua, bertajuk: “Pernak-pernik Kehamilan dan Aspek Kejiwaannya” (Editor Drs. Suhening Sutardi), Paracelcus Press, Jakarta, 2008.
Dokter-psikiater kita ini punya komitmen tinggi melayani siapapun yang memerlukannya dengan senang hati. Anda dapat menghubungi ponselnya 085285278777, email: dr.hando@gmail.com dan dapat juga langsung menghubungi kliniknya di Jalan Kemuning No. 5, Tomang Raya, Jakarta Barat.

Senin, 01 Desember 2008

Menunggu Kejutan Penyair Diah Hadaning


Oleh: Suhening Sutardi

(08158871863, email:heningsutardi@gmail.com)

Di usianya yang semakin matang menjelang 70 tahun, penyair Diah Hadaning masih terus berkarya. Bahkan sebuah buku mengenai pergulatan etika, estetika dan mistika sedang dalam proses penyelarasan untuk segera dapat diterbitkan. Judul bukunya masih dirahasiakan dan dipastikan bakal suprise dan mengejutkan...

Diah Hadaning terkenal sebagai sebagai wanita penyair dengan kebaikan budi dan kerendahan hatinya semerbak mewangi di kalangan penulis Nusantara. Perempuan kelahiran Jepara, 4 Mei 1940 itu namanya sudah menghiasi berbagai media massa cetak sejak 1980-an. Puisi-puisi, cerpen, novel dalam wujud cerita bersambung maupun artikel terus mengalir.

Karya-karya Diah Hadaning dengan mudah dapat ditemukan di Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) H.B. Jassin. memperlakukan karya-karya Diah sebagaimana mestinya. Usaha pendokumentasian tersebut merupakan penghargaan tak ternilai bagi yang bersangkutan. Pasalnya dengan demikian karya Diah Hadaning dapat dilestarikan.

Diah pernah bekerja pada Mingguan Swadesi, sebuah perusahaan pers yang semasa terbitnya belum bisa menyediakan fasilitas aduhai bagi para karyawannya. Namun Swadesi, tempat Diah pernah berkiprah itu pun tidak dapat dibilang menelantarkan orang-orang yang tergabung di dalamnya. Jika dikatakan sekadar cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup, barangkali memang begitulah kenyataannya. Bagi Diah sendiri, itu bukan persoalan penting. Ada yang lebih penting. Kesempatan mewarnai denyut nadi sastra di tanah air melalui Swadesi itulah kiranya yang melebihi segala perhitungan materi. Karena itu Diah tidak merisaukan imbalan yang diterima atas jerih payahnya. Dan Diah bukan termasuk orang yang menempatkan materi sebagai tolok ukur utama, sungguhpun kesejahteraan materi jelas tidak dapat dikesampingkan.

Diah bergabung secara tetap dengan Swadesi sejak tahun 1986. Namun hubungannya dengan media berideologi nasionalis itu sebelumnya telah belangsung bertahun-tahun. Bahkan bisa dikatakan sejak masa-masa awal Diah menapaki dunia kepenyairan dan kepenulisan pada pertengahan 1970-an, telah direntangkannya tali ikatan dengan Swadesi. Diah mengirimkan banyak tulisan ke mingguan itu. Sebagian besar novelnya yang telah terbit, pun sebelumnya telah dimuat lebih dahulu sebagai cerita bersambung di Swadesi. Demikian pula puisi-puisi maupun cerita pendeknya hampir setiap minggu muncul di Swadesi.

Itu berlangsung bertahun-tahun hingga akhirnya Diah berketatapan hati untuk bergabung secara organik. Namun koran itu berhenti terbit pada 1999 justru di tengah-tengah era reformasi yang hiruk pikuk dengan kebebasan politik dan kebebasan pers. Tentu suatu ironi bagi penerbitan pers yang sebelumnya telah malang melintang di pasar media cetak.

Dengan tidak lagi bekerja di perusahaan pers, Diah Hadaning malah semakin sibuk menghadiri berbagai acara sastra, baca puisi dan sejenisnya dari satu kota ke kota lainnya di seluruh penjuru pelosok tanah air.

Sebagai seorang penyair, Diah Hadaning telah menghasilkan antologi puisi tunggal maupun antologi puisi bersama koleganya sesama penyair. Buku Antologi Puisi Tunggal Diah Hadaning, yaitu:

  1. Surat dari Kota, Pribadi, 1980
  2. Jalur-jalur Putih, Pustakan Swadesi, 1980
  3. Nyanyian Granit-granit, Pustaka Swadesi, 1983
  4. Balada Sarinah, Yayasan Sastra Kita, 1985
  5. Sang Matahari, Yayasan Sastra Kita, 1986
  6. Nyanyian Waktu, Yayasan Sastra Kita, 1987
  7. Balada Anak Manusia, Hardjuna Dwitunggal, 1988
  8. Di Antara Langkah-langkah, S.S., 1993.

Sedangkan Antologi Puisi Duet Diah Hadaning dengan Penyair Lain meliputi:

Kabut Abadi (bersama Putu Bawa Samar Gantang), Lesiba Bali, 1979

Pilar-pilar (bersama Putu Arya Tirta Wirya), Pustaka Swadesi, 1981

Kristal-kristal (bersama Dinullah Rayes), Pustaka Swadesi, 1982

Nyanyian Sahabat (bersama Noor S.M.), U.K. Malayasia, 1986

Selain antologi puisi tunggal dan tersebut, puluhan judul antologi puisi dari berbagai macam penerbit juga memuat puisi-puisi Diah Hadaning. Di antarnya yaitu: Antologi Puisi Asean (1983), Sajak Delapan Kota (1986), Tonggak II (1987), Puisi Persahabatan Indonesia-Jerman (1989), Dari Negeri Poci II (1994), Chants of Nusantara (1995) dan Serayu (1995).

Diah juga menerbitkan karya-karya prosa dan telah dibukukan. Buku Prosa Diah Hadaning antara lain:

Musim Cinta Andreas (novel pop), Cita, Bandung, 1980

Kembang yang Hilang (novel pop), San, Jakarta, 1980

Denyut-denyut (kumpulan cerpen), Nusa Indah, Flores, 1984

Senandung Rumah Ibu (kumpulan cerpen), Puspa Swara, Jakarta, 1993

Lukisan Matahari (kumpulan cerpen), Bentang, Yogyakarta, 1993

Bahkan Diah Hadaning juga berkarya dalam bahasa Jawa. Kumpulan Geguritan (Puisi berbahasa Jawa) dengan tajuk Berkah Gusti sempat diikutkan dalam even Hadiah Sastera “Rancage” 2004. Walaupun Berkah Gusti hanya masuk nominasi dan tidak keluar sebagai juara, Diah Hadaning tetap tersenyum menghadapinya. Menulis dalam bahasa Jawa merupakan bentuk kecintaannya pada kebudayaan daerah.

Tentu saja Diah Hadaning jauh lebih menonjol melalui karya-karyanya berbahasa Indonesia. Wanita pernyair ini berjanji akan terus berkarya hingga tutup mata, entah kapan. Yang pasti karya-karya Diah Hadaning akan selalu mengabadi, senantiasa hidup dalam sejarah Sastra Indonesia melebihi usia hidupnya. Seperti Chairil Anwar menulis dalam lirik puisinya, Aku ingin hidup seribu tahun lagi.. dan memang itu menjadi kenyataan melalui karya-karya sastra.

Sebagai penyair yang produktif, tentu saja tidak lepas dari berbagai macam kritik. Diah sendiri menyatakan terbuka untuk dikritik. Ia berpendapat, bahwa kritik itu ada bermacam-macam. Ada yang simpati, ada yang mencaci. Ada yang mendorong, ada yang menghantam begitu saja. Baginya semua itu adalah suatu risiko.

“Jadi harus diterima secara wajar, bahwa kritik yang pahit hendaklah dijadikan obat dan kritik yang manis atau yang sifatnya hanya membumbung hati itu dijadikan tonik. Sehingga akan dapatlah ditarik hikmah,” prinsip Diah dalam menghadapi kritik.

Potret perjalanan hidup penyair ini juga sudah dibukukan dengan judul, “Penyair Diah Hadaning: Tinjauan Kreativitas dan Numerologinya”, olahan Suhening Sutardi, Penerbit Pustaka Yashiba, Jakarta, 2008.

Begitulah nama Diah Hadaning akan terus hidup menyertai karya-karyanya... Namanya semerbak mewangi. Teruslah berkarya Mbak Diah Hadaning.... (***)