Jumat, 22 Mei 2009

Proses Kreatif DIAH HADANING



Dari Pesisir Utara hingga Laut Selatan

Penyair Diah Hadaning genap berusia 69 tahun. Dalam usia yang semakin matang Mbak Diha, begitu inisial akrabnya masih terus berkarya. Bahkan sebuah buku mengenai pergulatan etika, estetika dan mistika telah terbit dan diluncurkan di Kedai I:Buku, Monas, Jakarta Pusat dengan didampingi budayawan Taufik Rahzen, medio Mei silam. Buku bertajuk, Proses Kreatifku dalam Pesona Etika-Estetika dan Mistika itu, Diah Hadaning membeber segala hal ihwal yang berkenaan dengan perjalanan kreatifnya sebagai penyair.
Perempuan kelahiran Jepara, 4 Mei 1940 itu terkenal sebagai sebagai wanita penyair dengan kebaikan budi dan kerendahan hatinya semerbak mewangi di kalangan penulis Nusantara. Namanya sudah menghiasi berbagai media massa cetak sejak 1980-an. Puisi-puisi, cerpen, novel dalam wujud cerita bersambung maupun artikel terus mengalir.
Karya-karya Diah Hadaning dengan mudah dapat ditemukan di Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) H.B. Jassin, kawasan Taman Ismail Marzuki (TIM). Usaha pendokumentasian tersebut merupakan penghargaan tak ternilai bagi yang bersangkutan. Pasalnya dengan demikian karya Diah Hadaning dapat dilestarikan.
Diah pernah bekerja pada Mingguan Swadesi, sebuah perusahaan pers yang semasa terbitnya belum bisa menyediakan fasilitas aduhai bagi para karyawannya. Namun koran itu berhenti terbit pada 1999 justru di tengah-tengah era reformasi yang hiruk pikuk dengan kebebasan politik dan kebebasan pers. Tentu suatu ironi bagi penerbitan pers yang sebelumnya telah malang melintang di pasar media cetak.
Dengan tidak lagi bekerja di perusahaan pers, Diah Hadaning malah semakin sibuk menghadiri berbagai acara sastra, baca puisi dan sejenisnya dari satu kota ke kota lainnya di seluruh penjuru pelosok tanah air. Tidak hanya perjalanan di seantero negeri zamrud khatulistiwa, namun juga merambah ke negeri jiran seperti Malaysia.
Sebagai penyair yang produktif, tentu saja tidak lepas dari berbagai macam kritik. Diah sendiri menyatakan terbuka untuk dikritik. Ia berpendapat, bahwa kritik itu ada bermacam-macam. Ada yang simpati, ada yang mencaci. Ada yang mendorong, ada yang menghantam begitu saja. Baginya semua itu adalah suatu risiko.
“Jadi harus diterima secara wajar, bahwa kritik yang pahit hendaklah dijadikan obat dan kritik yang manis atau yang sifatnya hanya membumbung hati itu dijadikan tonik. Sehingga akan dapatlah ditarik hikmah,” prinsip Diah dalam menghadapi kritik.
Begitulah nama Diah Hadaning akan terus hidup menyertai karya-karyanya... Berkah Gusti selalu disyukurinya. Inspirasinya terus mengalir sejak masih di pesisir utara hingga laut kidul dan kini berlabuh di kawasan Cimanggis, Depok, Jawa Barat. Teruslah berkarya Mbak Diah Hadaning.... (Thar S)