Senin, 19 Oktober 2009

PYTHAGORAS, SANG MAHAGURU FILSAFAT ANGKA


BAGI siapa saja yang pernah duduk di bangku sekolah, walaupun hanya sampai sekolah dasar misalnya, nama Pythagoras pasti akan selalu dikaitkan dengan teori segitiga Pythagoras atau terkenal sebagai teorema Pythagoras. Biasanya waktu masih sekolah mengikuti pelajaran matematika atau geometri, teorema Pythagoras itu hafal di luar kepala. Bunyinya, jumlah kuadrat dari dua sisi segitiga siku-siku sama dengan kuadrat dari sisi ketiga atau sisi miring yang disebut hypotenusa. Sedangkan rumus sederhananya yaitu, a2 + b2 = c2.

Dalil temuan Pythagoras itulah yang paling banyak diketahui orang jika disebutkan nama Pythagoras. Padahal teorema Pythagoras hanyalah salah satu dari ribuan dalil-dalil yang disusun Pythagoras beserta para pengikutnya. Selain sebagai ahli matematika, bahkan dijuluki Bapak Matematika, Pythagoras juga sangat terkenal sebagai filosuf. Setiap mahasiswa filsafat atau siapa saja yang mempelajari sejarah filsafat Yunani Kuno pasti akan bertemu dengan tokoh satu ini. Siapakah sesungguhnya Pythagoras?


Masa Kecil Pythagoras

Pythagoras lahir pada tahun 580 SM (Sebelum Masehi) di Pulau Samos, Yunani. Dia berayah seorang pedagang kaya bernama Mnesarchus dari kota Tirus, Phoenicia, sekarang bernama kota Sur, masuk wilayah Libanon. Mnesarchus dikenal sangat dermawan pada warga Samos sehingga mendapat anugrah sebagai warga kehormatan kota Samos.

Ibu Pythagoras berdarah asli Samos, bernama Pythais yang dinikahi Mnesarchus untuk menyempurnakan statusnya sebagai warga kota Samos.

Kelahiran Pythagoras yang kelak akan menjadi tokoh tersohor sepanjang zaman telah dinujumkan jauh hari oleh seorang pendeta Yunani di kuil Apollo, kota Delphi. Ketika itu Mnesarchus yang baru menikahi Pythais sedang melakukan perjalanan bisnis dan singgah di kuil Apollo dengan membawa persembahan. Begitu tiba di kuil, Mnesarchus langsung disambut sang pendeta.

“Ke sinilah, hai orang Phoenicia,” kata pendeta.

Mnesarchus terheran-heran. “Bagaimana anda mengetahui saya?” tanyanya penuh ketakjuban.

“Sudah tugasku menerima wahyu dari Yang di Atas. Kau akan dianugerahi seorang anak yang istimewa. Rawatlah baik-baik anakmu. Bagi bangsa Yunani, dia akan penuh hikmat. Bagi umat manusia keseluruhan, dia akan membawa pada pengetahuan. Rawatlah dia baik-baik dan jagalah anakmu sepenuh hati,” ujar pendeta itu panjang lebar.

Mnesarchus mendengarkan dengan penuh takzim dan mengucapkan terima kasih atas ramalan baiknya yang menyenangkan hati. Apa yang dinujumkan itu benar-benar menjadi kenyataan. Mnesarchus menemukan tanda khusus pada paha bayi Pythagoras yang dia yakini sebagai petunjuk adanya keistimewaan.


Masa kecil Pythagoras penuh kebahagiaan dan semua kebutuhannya tercukupi dengan baik, mengingat ayahnya seorang saudagar kaya. Pythagoras kecil juga banyak melakukan perjalanan ke berbagai kota mengikuti sang ayahanda.

Pengalaman mengunjungi banyak kota perdagangan itu menyenangkan hati dan memacu keingintahuannya untuk lebih mendalami berbagai macam pengetahuan. Oleh ayahnya, Pythagoras kecil lantas diserahkan pada Creophilus untuk diberikan pendidikan secara khusus. Guru Creophilus mengakui bahwa Pythagoras mempunyai pesona dari sorga dan memiliki kecerdasan luar biasa. Sebagaimana putra-putra Yunani terdidik, Pythagoras pun mempelajari karya-karya sastra, puisi dan bermain musik.

Setelah dinyatakan lulus dari Guru Creophilus, Pythagoras selanjutnya berguru pada Pherekydes. Guru kedua itu juga memberikan banyak bekal pada Pythagoras mengenai filsafat, mistik dan mitologi. Pherekydes merupakan guru yang hebat dan selalu dikelilingi pemuda-pemuda yang ingin mempelajari berbagai hal.

Pythagoras sendiri memperoleh pelajaran dari Pherekydes secara privat alias khusus. Dari Pherekydes itulah Pythagoras memperoleh ajaran mengenai hubungan jiwa dan tubuh. Pherekydes mengatakan, “Ada lubang-lubang di tubuh yang menyebabkan jiwa bisa berpindah. Karenanya wahai Pythagoras, belajarlah memurnikan jiwa dengan hidup seimbang.”

Dari ajaran itulah Pythagoras memperoleh inspirasi awal mengenai keharusan berprilaku bersih agar jiwa terjaga kesuciannya.Namun menjelang usia remaja, Pythagoras terpukul jiwanya. Ayahnya. Mnesarchus meninggal dunia karena sakit.

“Ayah adalah orang paling berharga dalam hidupku. Dialah yang pertama kali membawaku berkeliling ke berbagai kota,” ratap Pythagoras di sisi jenasah ayahnya.

Kesedihan Pythagoras sangat dirasakan kedua gurunya. Creophilus terus-menerus menghibur. “Pythagoras, janganlah larut dalam kesedihan. Aku akan jadi pengganti ayahmu. Sebelum meninggal, ayahmu mempercayakan pengawasan dan pembimbingan dirimu kepadaku. Janganlah bersedih,” hibur Creophilus.

Berangsur-angsur Pythagoras pun berusaha melenyapkan kesedihannya bersama kedua gurunya.




Belajar ke Berbagai Penjuru

Sepeninggal ayahnya, Pythagoras bangkit kembali untuk tetap terus tekun belajar dan melupakan segala duka laranya. Dari guru Pherekydes, Pythagoras melanjutkan berguru ke berbagai tempat yang dipandang akan menambah pengetahuannya lebih banyak lagi. Pythagoras dirujuk untuk menemui Guru Thales.


“Pergilah ke Miletus. Di kota itu ada filosuf ternama bernama Thales. Kamu dapat berguru kepadanya. Orangnya berbudi, dan kupikir kau memang harus belajar pada Guru Thales,” ujar Creophilus menasihati.

Tahun 562 SM Pythagoras berlayar dari Samos ke Miletus untuk menemui filosuf Thales. Pada waktu itu sebenarnya, Guru Thales karena usianya sudah uzur tidak lagi mengajar. Thales lahir 625 SM, berarti ketika Pythagoras datang menemuinya, filosuf Thales sudah berusia sekitar 63 tahun. Tugas sehari-hari mengajar telah diserahkan pada murid seniornya, Anaximander.

“Sayang sekali Guru Thales tak lagi mengajar. Dia sudah digantikan Anaximander. Namun dia juga guru yang hebat,” ujar sejumlah orang yang ditanya Pythagoras begitu tiba di Miletus.

Guru Thales terkenal sebagai salah satu dari tujuh orang bijak yang tersohor pada zaman itu. Ketujuh orang bijak tersebut selain Thales dari Miletus adalah, Bias dari Priene, Pittakos dari Mytelene, Soloon dari Athena, Kleoboulos dari Lindos, Khiloon dari Sparta dan Periandros dari Korinthos.


Keahlian Thales terutama di bidang matematika dan astronomi. Thales adalah orang pertama yang berhasil secara tepat meramal akan terjadinya gerhana matahari pada tahun 585 SM. Pada waktu meramalkan gerhana matahari usia Thales baru menjelang empat puluh tahun. Thales juga aktif dalam kegiatan kemasyarakatan dan menjadi penasihat pemerintahan kota Miletus. Jadi tepat Pythagoras datang kepada Thales yang merupakan ilmuwan besar pada masanya.

Pythagoras cukup beruntung dapat diterima secara pribadi oleh Guru Thales. Kendati sehari-hari tidak lagi bertugas mengajar, namun Thales bersedia memberikan pelajaran pada Pythagoras secara khusus, selain juga tetap mengikuti pelajaran yang diberikan Anaximander.
“Jadi kau ini dari Samos untuk belajar matematika. Dengan senang hati aku akan mengajarimu. Matematika memang menyangkut kebenaran hakiki. Tak ada yang lepas dari matematika. Setiap tarikan nafasmu, bahkan setiap detak jantungmu adalah irama matematika,” papar Guru Thales.

Dalam sejarah filsafat Yunani klasik, Thales dijuluki sebagai bapak filsafat alam. Dia mengabdikan hidupnya pada astronomi dan penelitian-penelitian ilmiah atas alam semesta. Dari Guru Thales itulah Pythagoras belajar astronomi. “Gerakan planet dan bintang semuanya terhitung secara matematis dan rinci. Kalau tidak terukur secara matematis, terperinci dan harmonis, alam pasti akan saling berbenturan, hancur berantakan dan musnah,” papar Guru Thales pada Pythagoras.


Dari Anaximander didapatlah pelajaran mengenai geometri dan kosmologi. “Geometri selalu menghasilkan gedung-gedung megah karena geometri sendiri pun begitu megah,” ujar Anaximander kepada Pythagoras.


Dari Anaximander pulalah Pythagoras belajar mengenai pengukuran-pengukuran geometris. Anaximander yang lahir pada 610 SM dalam sejarah geografi dikenal sebagai tokoh yang pertama kali menggambarkan peta dunia.


Selanjutnya oleh kedua filsuf itu, Pythagoras dianjurkan memperdalam ilmunya dengan belajar ke Mesir. “Sudah tak ada yang bisa kuajarkan padamu. Untuk mendalaminya lebih jauh, pergilah ke Mesir, tempat segala sesuatu berasal. Baik itu teologi, matematika, geometri dan kimia, semuanya dapat dilacak di Mesir. Janganlah sekali-kali minum anggur, hindari makan daging serta jauhi sifat rakus dan tamak agar jiwamu selalu bersih,” nasihat Thales pada kesempatan terakhir pelajarannya. Usia Pythagoras pada waktu itu sudah 18 tahun.


Pythagoras mengikuti anjuran Guru Thales. Pada tahun 535 SM Pythagoras berlayar ke Mesir. Ada dua hal penting berkenaan dengan kepergiannya ke Mesir. Pertama, meneruskan minatnya mempelajari ilmu-ilmu di Mesir. Kedua, menghindari ancaman pemerintahan diktator Polycrates.

Pada masa Pythagoras menginjak usia dewasa, Samos dikuasai pemerintahan otoriter yang bengis dibawah diktator Polycrates. Musuh-musuh politiknya dihabisi secara sadis. Bahkan saudaranya sendiri yang tidak menyetujui cara-cara kekerasan yang diambil Polycrates juga disingkirkan. Pythagoras termasuk warga Samos yang tidak menyetujui gaya kepemimpinan Polycrates. Sebelum meninggalkan Samos, dengan penuh keberanian, Pythagoras menulis surat kepada Polycrates.

“Polycrates, janganlah membawa Samos pada kediktatoran militer. Lihatlah sendiri, Mesir besar bukan karena militernya, melainkan peradabannya,” tulis Pythagoras dalam suratnya.

Polycrates membalas dengan ucapan sinis. “Kalau kau memang mengagumi Mesir, datanglah sendiri kau ke sana.”

Walaupun tidak terang-terangan Polycrates akan menghukum tokoh muda itu, namun dari relung hati Pythagoras ada isyarat tidak beres. “Polycrates pasti punya rencana terselubung,” pikirnya.

Karena itu Pythagoras meninggalkan Samos pada malam hari agar tidak diketahui kaki tangan Polycrates. Selama berlayar melintasi Laut tengah, perjalanan berlangsung aman dan lancar.

Dalam perjalanan itu, Pythagoras lebih banyak bermeditasi, tidak banyak bergerak, tidak makan, tidak minum dan tidak tidur. Para awak kapal menganggap perjalanan mereka diberkati.

Di antara mereka yang sedianya akan bermaksud jahat hendak menjual Pythagoras sebagai budak di Mesir, malah berbalik sangat takzim dan penuh hormat.
“Wah, dia seperti seorang nabi tanah Yudea. Sepertinya ada jiwa suci menyertai Pythagoras,”bisik-bisik di antara awak kapal.


Sebelum meninggalkan kapal, Pythagoras berpesan kepada para awak kapal. “Janganlah berbuat kejahatan. Karena kejahatan itu akan berbalik padamu. Sucikanlah jiwamu. Dengan begitu kehidupan akan jauh lebih baik dan kamu akan hidup bahagia,” kata Pythagoras dengan lembut. Mereka hanya bisa diam sambil mengangguk-angguk.


Mesir adalah tempat yang menakjubkan bagi Pythagoras. Dia menyaksikan kemegahan bangunan piramid dan spink. “Benar kata Guru Thales, peradaban Mesir sangat maju. Di sini perkembangan matematika dan astronomi jauh lebih dahsyat. Aku akan tinggal lama di Mesir untuk mempelajari matematika, astronomi dan peradaban Mesir yang sangat mengagumkan,” pikir Pythagoras membulatkan tekadnya.



Demikianlah Pythagoras banyak menggali ilmu di Mesir. Di negeri lahirnya para nabi itu, Pythagoras juga belajar ritus agama dan ketuhanan. Para pemuka agama di Mesir kuno hidup sepenuhnya di dalam kuil, menjaga kesucian, memotong rambut, memakai kain linen dan mandi lima kali sehari. Banyak cara hidup pendeta Mesir kelak diadopsi Pythagoras dan diajarkan kepada para pengikutnya, seperti hidup vegetarian dan menolak menggunakan pakaian yang berasal dari kulit binatang.

Selama bermukim di Mesir, Pythagoras menyaksikan terjadinya peristiwa peperangan antara Mesir dan Persia. Polycrates penguasa lalim di Samos yang semula menjalin hubungan dengan Mesir berbalik ikut menyerang Mesir dengan cara mengirim 40 kapal perang memperkuat pasukan Persia.

Peperangan terbuka pecah di kawasan sebuah delta Sungai Nil. Pasukan Mesir kalah telak. Dua kota terpentingnya, Heliopolis dan Memphis dikuasai Persia. Raja Amasis dijebloskan ke penjara dan penduduknya dimusnahkan.

Akibat kekalahan perang melawan Persia itu, orang-orang Mesir dibuang ke Babilonia sebagai tawanan perang. Dalam barisan tawanan itu terdapat pula Pythagoras. Walaupun berada di pembuangan, Pythagoras tetap dapat mensyukuri karena masih dapat bertahan hidup. Bahkan Pythagoras merasa sangat senang karena dapat berhubungan dengan para penganut Majusi.

Menurut agama Majusi yang ditetapkan sebagai agama resmi Persia, dipercayai adanya kekuatan baik atau Tuhan yang disebut Ahuramazda dan kekuatan jahat atau iblis yang disebut Ahriman. Ahuramazda dan Ahriman menjadi penguasa alam semesta jagad raya dan terus-menerus saling berhadapan.

Selama masa pembuangan itu Pythagoras juga mendapat tambahan ilmu aritmatika dan musik. Oleh pendeta Majusi, Pythagoras disarankan pergi ke India.

“Di tanah Hindustan, letaknya jauh ke arah timur melewati sungai Indus, akan kau temukan pelajaran lain yang lebih berharga,” kata salah seorang Pendeta Majusi kepada Pythagoras.


Dengan izin pemuka agama Majusi, Pythagoras meninggalkan Babilonia dan mengembara ke arah timur. Berdasar catatan sejarah, pada sekitar 3000 SM jauh melampaui zaman keemasan filsafat Yunani Kuno yang baru mulai muncul pada tahun 600 SM atau zaman kehidupan filosuf Thales, peradaban bangsa-bangsa di Timur telah mencapai kemajuan yang menakjubkan. Bangsa Arya yang konon merupakan ras paling unggul telah menancapkan pengaruhnya di dataran tinggi Iran dengan pimpinan Zarathustra atau Nabi Zoroaster.


Pada sekitar 1500 SM bangsa Arya itu menyerbu masuk India menaklukkan penduduk asli bangsa Dravida hingga terdesak ke dataran tinggi yang tandus. Bangsa Arya mendiami kawasan yang subur seperti di lembah-lembah antara Sungai Indus dan sungai Gangga. Mereka menjadi bangsa penguasa di wilayah Hindustan atau sekarang dikenal sebagai India. Kisah-kisah kepahlawanan bangsa Arya diabadikan dalam epos terkenal sepanjang zaman, yaitu; Mahabarata dan Ramayana.

Pada zaman modern setelah rentang waktu sekitar lima ribu tahun atau limapuluh abad kemudian, tepatnya menjelang pertengahan abad keduapuluh, kebanggaan sebagai bangsa Arya rupanya menjangkiti pula sebagian orang Eropa dengan dipelopori Adolf Hitler yang mengklaim Jerman sebagai bangsa paling unggul karena menganggap dirinya turunan ras Arya. Mitos kehebatan ras Arya itu hancur ketika Jerman kalah dalam perang dunia kedua.

Nah, di Hindustan yang kala itu dikuasai bangsa Arya, Pythagoras terkagum-kagum menyaksikan kemajuan peradaban negeri itu. Pada masa itu Yunani masih di belakang peradaban bangsa-bangsa timur. Eropa secara keseluruhan masih hutan belantara. Kepada para pendeta Hindustan itu Pythagoras mempelajari konsep mengenai penyatuan jiwa. Dari ajaran para pendeta Hindustan itulah tampaknya Pythagoras mengembangkan konsep filsafat, bahwa jiwa kita semua akan menyatu kembali dalam satu kesatuan kepada Yang Maha Suci. “Itulah hakikat Tuhan, dari-Nya kita berasal dan kepada-Nya pula kita akan kembali,” ujar pendeta Hindustan meringkaskan keyakinannya.

Pada waktu Pythagoras mengunjungi Hindustan, selain adanya agama Hindu yang sudah mengakar, berkembang pula ajaran baru yang disebarluaskan oleh Sidharta Gautama yang terkenal dengan nama Budha. Bagi Pythagoras, ajaran Hindu mengenai kasta dalam struktur masyarakat kurang memuaskan batinnya. Bangsa Arya membedakan secara tajam antara kasta tertinggi dengan kasta paling rendah yang meliputi rakyat jelata.

Dengan petunjuk orang Arya, Pythagoras dapat menemui Sang Budha Gautama, tokoh yang sedang naik daun di Hindustan kala itu. Pangeran yang hengkang dari istana kerajaan dan lebih memilih untuk menyebarkan pandangan hidup baru tanpa membeda-bedakan asal-usul keturunan itu sangat menarik minat Pythagoras.

Ditilik dari tahun kelahiran Sidharta dengan tahun kelahiran Pythagoras, terdapat selisih perbedaan usia sekitar 17 tahun. Sidharta lahir sekitar 563 SM, sedangkan Pythagoras pada 580 SM. Itu berarti Sidharta lebih muda 17 tahun dari usia Pythagoras.


Keduanya bertemu pada sekitar tahun 522 SM. Usia Pythagoras sudah terbilang matang berkepala lima atau sekitar limapuluh delapan tahun. Sidharta lebih muda tujuhbelas tahun atau berusia sekitar 41 tahun. Tampaklah mulia hati Pythagoras, ternyata dia bersedia menemui orang yang lebih muda dari dirinya untuk menggali ilmu memenuhi rasa dahaganya. Dalam usia menjelang enampuluh tahun itu Pythagoras masih melanglang buana ke segenap penjuru menghimpun segala ilmu pengetahuan.

Padahal Sidharta Gautama sudah menyebarkan ajarannya pada usia tigapuluh lima tahun. Maka ketika Pythagoras menemui Sang Budha Gautama, bagai air bah ajaran Budha telah menyebar ke berbagai wilayah Hindustan. Sang Budha Gautama telah memiliki banyak pengikut.

Pertemuan Pythagoras dengan Sang Budha Gautama yang jauh lebih muda di kaki pegunungan Himalaya telah menorehkan inspirasi besar. Lelaki yang telah banyak malang melintang ke berbagai negeri timur itu merasa sudah terpuaskan hasrat pencariannya.


Setelah mengembara di Hindustan, Pythagoras kembali ke Babilonia. Orang-orang Babilonia menyampaikan kabar bahwa penguasa Samos, Polycrates yang lalim telah tewas di tangan orang Oroetes yang tidak menyetujui penggabungan Samos ke Persia. Mereka menyarankan agar Pythagoras kembali saja ke Samos. “Polycrates yang mengancam nyawamu sudah tewas dibunuh. Saatnya sekarang kau kembali ke Samos. Pulanglah, sobat... Negerimu yang hancur saat ini membutuhkan kehadiranmu. Bagaimanapun Babilonia bukan rumahmu,” kata orang Babilonia mengingatkan.

Pythagoras tercenung masgul. Dalam usia menjelang senja itu dia masih hidup di negeri orang. Praktis empat puluh tahunan Pythagoras meninggalkan kampung halamannya. Sejak usia delapan belas tahun hingga usia limapuluh delapan tahun telah dihabiskan waktunya menimba berbagai ilmu di seluruh penjuru negeri.


Mendirikan Perguruan, Menyebarkan Kebajikan


Pada tahun 520 SM Pythagoras kembali ke negeri leluhurnya di Pulau Samos. Keadaan kampung halamannya ternyata hancur berantakan. Pasukan tentara Persia telah meluluhlantakkan segalanya .

Di Samos Pythagoras mencoba mendirikan sekolah yang disebutnya Semicircle. Dia mengajarkan kebajikan-kebajikan untuk kembali menata kota Samos. “Harus ada hukum yang dijunjung. Jangan berbuat jahat lagi. Kebaikan dan keadilan harus ditegakkan,” seru Pythagoras.

Namun tampaknya ajakan Pythagoras tidak memperoleh sambutan hangat dari warga Samos. Sebagian besar penduduk memilih hidup berfoya-foya dan bersenang-senang dalam kehancuran. Karena itu Pythagoras kembali meninggalkan kampung halamannya pada tahun 518 SM. Dia hanya bertahan sekitar dua tahun saja. Ada kelompok masyarakat yang sangat membencinya. Bahkan ada yang menyerang Pythagoras sebagai antek Persia atau antek Mesir. Memang pengaruh Mesir maupun alam pikiran timur sudah merasuk dalam diri Pythagoras.

Pythagoras kembali berkelana sambil mengajarkan pandangan hidupnya kepada siapa saja yang mau mendengarkan. “Saudara-saudaraku, kebenaran hanya bisa didapat dengan jiwa yang suci dan tulus. Alam menuntut matematika yang harmonis. Jiwa juga harus harmonis dengan alam,” Pythagoras berfilsafat di setiap kesempatan yang ada.

Pentingnya menyampaikan kebenaran dalam segala situasi itu merupakan inspirasi yang didapat Pythagoras dari orang-orang Majusi ketika hidup dalam pembuangan di Babilonia.

Pelan namun pasti, jumlah orang yang bersimpati dengan ajarannya pun terus bertambah. Pythagoras mulai dikenal sebagai orang bijaksana. Dia mengajarkan pada setiap orang untuk selalu menjaga kesucian jiwa. “Hendaklah jangan saling membunuh. Hapuskan perbudakan, jauhkan peperangan, hindari bermewah-mewah dan hiduplah sederhana,” tuturnya lemah lembut.



Kembali Berkelana, Menetap di Italia


Setelah mengembara ke berbagai penjuru, Pythagoras rupanya tidak pernah mau kembali ke kampung halaman di Samos, Yunani. Pasalnya ada desas-desus yang meresahkan hatinya bahwa penguasa Yunani akan menghukumnya apabila Pythagoras kembali ke tanah kelahiran. Walau fakta ini tidak didukung bukti-bukti sejarah, namun fenomena bertahannya Pythagoras di negeri orang cukup dapat menjelaskan latar belakang keengganannya pulang kampung.

Sesudah banyak melakukan pengembaraan dan terjaminnya keamanan diri beserta para pengikut, Pythagoras kemudian memutuskan tinggal di Kroton, Italia Selatan. Kota Krotona, salah satu wilayah koloni Yunani, sekarang kawasan Italia, merupakan kawasan yang dirasa aman bagi Pythagoras beserta murid-muridnya. Krotona berada di teluk Taranto, selatan Italia. Kota itu dibangun sekitar 710 SM oleh orang-orang Yunani. Awalnya bernama Croton, lalu berubah jadi Cotrone dan sejak 1928 menjadi Crotone. Di situlah dia bersama para pengikutnya mendirikan perguruan atau semacam pesantren. Mereka bersumpah setia untuk sehidup semati tinggal bersama sebagai satu komunitas. Sekitar duapuluh tahunan padepokan Pythagoras berada di Kroton.


Peraturan Ketat

Selama puluhan tahun memimpin perguruan yang didirikannya, Pythagoras menerapkan peraturan-peraturan dan tata tertib secara sangat ketat. Tetapi hal itu didasari pada kesukarelaan para murid pengikutnya. Bagi yang tidak dapat mengikuti atau berkeberatan boleh meninggalkan perguruan alias tidak dilarang ke luar di tengah jalan. Perguruan Pythagoras sangat terkenal dan berjaya sepanjang usianya.

Barang siapa tidak menyucikan diri atau penyuciannya masih berkurang, rohnya akan berpindah pada kehidupan lain. Perpindahan itu dapat berlangsung terus-menerus dan berulang-ulang, baik itu ke tumbuh-tumbuhan, binatang maupun juga ke manusia yang kemudian dilahirkan ke dunia. Apabila roh sudah sungguh-sungguh disucikan melampaui berbagai perpindahan, maka roh akan tenang penuh kemuliaan.


Dalam merekrut murid atau pengikut, tidak sembarang orang dapat diterima. Ujian pertama yang wajib diikuti oleh siapapun untuk diterima sebagai murid, yaitu kerelaan menyerahkan segenap apa yang dimiliki. Harta benda tersebut dapat diambil kembali apabila yang bersangkutan keluar dari perguruan.



Ujian berikutnya yang tidak kalah beratnya adalah seluruh murid diwajibkan mengikuti pertemuan-pertemuan secara bersama-sama. Para pengikut Pythagoras ini dilatih hidup menjauhi kenikmatan duniawiyah dan memperkuat ketahanan mental-pikiran. Barang siapa melakukan pelanggaran di luar batas toleransi niscaya akan terkena sanksi berat.

Pernah seorang murid bernama Hippasos dikenai sanksi berat akibat kebandelannya. Pythagoras telah beberapa kali mengingatkan agar Hippasos tidak sembarangan membicarakan ilmu rahasia kepada orang-orang di luar yang belum tentu sependapat. Namun Hippasos tidak mengindahkan teguran Pythagoras. Bahkan cenderung membangkang dan diketahui mulai berani berolok-olok bila berada di luar padepokan. Terutama yang berkenaan dengan berbagai pantangan atau tabu-tabu yang diajarkan Pythagoras. Lantaran sudah melampaui batas, Pythagoras menjatuhkan sanksi paling berat dan tidak ada kata maaf lagi. Hippasos dipecat.

Menurut tata tertib yang berlaku, murid semacam Hippasos itu sudah termasuk berkhianat karena membocorkan ilmu rahasia pada orang tidak berhak. Pythagoras menyatakan, selama masih menjadi muridnya wajib menaati seluruh tata tertib sebagaimana dijanjikan dari awal. Barangsiapa melakukan pelanggaran dan tidak memperlihatkan itikad baik untuk memperbaikinya, maka yang bersangkutan akan dikeluarkan dari padepokan atau diminta mengundurkan diri. Bagi yang terkena pemecatan, alam semesta diniscayakan akan menambahkan hukuman yang setimpal.



Dalam perjalanan pulang ke kampung halaman, Hippasos mengalami kecelakaan. Kapal yang ditumpanginya oleng diombang-ambingkan badai besar. Hipassos terlempar dari kapal dan mati. Sejarah mencatat, itu akibat dia kualat memperolok ajaran-ajaran Pythagoras. Padahal sebagai seorang murid seharusnya dia menjaga kehormatan guru besarnya atau secara baik-baik mengundurkan diri sekiranya tidak lagi dapat menerima ilmu-ilmu sang guru.

Pythagoras melalui ajaran-ajarannya menekankan bagaimana pada akhirnya para pengikut berhasil mencapai kebersihan jiwa. Itu tidak hanya melalui pengetahuan teoritis saja. Lebih dari penyelidikan-penyelidikan matematis-ilmiah yang memang merupakan dasar sistem filsafatnya, Pythagoras juga mewajibkan pelaksanaan tata tertib moral-spiritual, mulai dari tingkah laku, pola makan hingga ritual dan tabu-tabu yang tampak aneh sekalipun.

Di kota itulah ajaran-ajaran Pythagoras memperoleh sambutan. Pythagoras menyebut para pengikutnya sebagai Pythagorean. Pada perguruan Pythagoras, wanita memperoleh kedudukan yang sederajat dengan pria. Pythagoras sangat menghormati dan menjunjung tinggi harkat-martabat wanita. Pythagoras konsisten dengan filsafatnya mengenai angka-angka, walaupun terbagi ganjil dan genap seperti halnya pria dan wanita, namun keduanya merupakan satu kesatuan.



Pola Hidup Vegetarian

Dalam hal menyantap makanan, Pythagoras juga menetapkan peraturan ketat serta melakukan pantangan terhadap jenis makanan tertentu. Sayur-mayur, buah-buahan, sedikit karbohidrat dan air putih merupakan menu sehari-hari. Sedangkan segala rupa daging, ikan, minuman beralkohol merupakan jenis makanan yang mutlak harus ditinggalkan alias menjadi pantangan.

Dasar ajaran Pythagoras mengenai makanan yang dibolehkan dan yang harus ditinggalkan itu berkaitan langsung dengan kekuatan pengendalian diri. Makanan jenis tertentu dapat merusak akal budi dan mengotori kesucian batin. Karena itu makanan-makanan tersebut harus dipantang. Pythagoras dan para muridnya mempraktekkan filsafat vegetarian dalam pola makannya.

Tampaknya filsafat vegetarian, yakni berpantang segala macam daging dan ikan, serta menyantap seperlunya saja makanan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan, merupakan ajaran yang digali dari khasanah kebijaksanaan bangsa Timur. Pola makan vegetarian dipandang dapat lebih menyehatkan tubuh, mencegah berbagai penyakit serta terlebih lagi akan membersihkan jiwa dari sifat-sifat jahat, memperkuat mental pikiran dan menjadikan hidup bahagia lahir-batin.

Seperti diketahui melalui catatan-catatan sejarah, Pythagoras bukanlah satu-satunya guru besar asal Yunani yang mempraktekkan pola makanan vegetarian. Guru besar Yunani lainnya seperti Sokrates dan Plato merupakan penganjur serta teladan menyantap makanan vegetaris sesuai kebutuhan tubuh.

Tokoh-tokoh besar di masa purba hingga zaman paling modern pun, tidak sedikit yang mengambil manfaat positif menempuh pola makan vegetaris. Tercatat mereka itu misalnya Sang Budha Siddharta Gautama (pendiri agama Buddha 563-483 SM), Clement Alexandria (filosuf Kristen 150-215), Seneca (filosuf Romawi ), Leonarno da Vinci (pelukis Italia 1452-1519), Voltaire (filosuf Prancis 1694-1778), Jean Jacques Rousseau (filosuf Prancis 1712-1778), Charles Darwin (ilmuwan Inggris 1809-1882), Albert Einstein (ilmuwan 1879-1955), Leo Tolstoy (sastrawan Rusia), Benyamin Franklin (negarawan Amerika 1706-1790), Mahatma Gandhi (negarawan India 1869-1948).

Terbukti apa yang diajarkan Pythagoras tak lekang di panas tak lapuk di hujan. Bagi masyarakat modern yang mabuk konsumerisme, sudah pasti tidak gampang menjalani ajaran Pythagoras. Pada masa itu saja hanya sedikit orang yang sanggup menjadi muridnya. Bahkan ada yang menyatakan, pedoman aturan hidup dalam perguruan Pythagoras tidak cuma sebatas menyangkut hal ihwal makanan, tetapi lebih dari itu banyak sekali peraturan tata tertib dalam hal tingkah laku yang wajib ditaati. Bagi masyarakat kebanyakan, lebih-lebih untuk orang sekarang, itu semua nampak gila bin edan.



Tetapi sesungguhnya tidaklah menjadi berat bagi mereka yang tulus untuk mencapai kemuliaan tertinggi, yakni hidup sesuai dengan harmoni alam. Dengan tingkah laku mematuhi peraturan-peraturan susila yang tinggi mutunya, Pythagoras dan para pengikutnya berusaha memperoleh kualitas kebatinan, akal budi yang bersih, jernih. Sebab yang demikian itu juga menjadi tuntutan alam semesta yang harmonis.

Menurut Pythagoras seperti juga diajarkan oleh tokoh-tokoh alim, jiwa manusia itu bersifat kekal. Dengan pola makan vegetaris, kebersihan jiwa cenderung lebih dapat dijaga dan ditingkatkan. Ajaran filsafat vegetarian sangat boleh jadi digali dari kebijaksanaan Mesir kuno. Para pendeta bangsa Mesir diketahui tidak pernah memakan daging. Dipercayai, daging binatang yang disantap manusia sama saja menjadikan badan sebagai kuburan binatang itu.

Selain berpantang daging, terdapat jenis makanan tertentu yang tidak boleh disantap. Di antaranya buncis, roti yang remuk dan roti bulat besar. Ada lagi tabu-tabu tertentu yang harus dihindari seperti melangkahi palang, mengambil api dari batu, memelihara burung walet di atas rumah. Tidak jelas alasannya mengapa hal-hal tersebut ditabukan. Namun semua itu harus betul-betul diperhatikan dan dijaga kerahasiaannya. Pythagoras menekankan, hanya para murid sajalah yang boleh mengetahui ajarannya. Orang-orang di luar padepokan tidak boleh diberi tahu, kecuali mereka sudah resmi bergabung dan tinggal bersama di dalam padepokan. Karena itu padepokan Pythagoras terkenal juga dengan ilmu-ilmu rahasia. Pada waktu itu hanya sedikit sekali yang diketahui apa sesungguhnya yang diajarkan dan dipraktekkan Pythagoras bersama para pengikut di dalam padepokan.


Masa Tua Pythagoras

Pythagoras menikah pada usia yang sudah tua, sekitar enampuluh empat tahun. Wanita yang dinikahinya masih berusia muda belia dan menjadi pengikut ajarannya. Dari pernikahannya, Pythagoras memiliki tujuh orang anak.

Akhir kehidupan Pythagoras dicatat sejarah berlangsung amat dramatis. Musuh-musuh Pythagoras sering menyatroni perguruannya. Bahkan kemudian muncul penggalangan mengusir Pythagoras bersama seluruh pengikut. Dengan berat hati mereka meninggalkan Kroton menuju Metapontion, masih di kawasan Italia. Di Metapontion itulah Pythagoras mempertahankan padepokannya sampai akhir.

Apa yang telah dikuatirkan sejak lama sekali terbukti menjadi kenyataan. Dikabarkan Pythagoras dibunuh oleh orang-orang yang diduga suruhan penguasa Yunani. Begitulah legenda menyebutkan Pythagoras memang telah diincar nyawanya sejak masih usia muda di kampung halaman. Usianya ketika meninggal berkisar sekitar delapan puluh tahun. Pemakaman jasadnya diiringi ratapan para pengikut setia.

Kematian Pythagoras amat misterius karena tidak dapat diungkap secara pasti apa dan bagaimana duduk perkara sesungguhnya hingga dia dibunuh demikian kejinya. Ini berbeda dengan kematian Socrates yang sangat terang-benderang sebab-sebabnya maupun mengabadi dalam sejarah bagaimana para muridnya tegang menghadapi detik-detik kematian Socrates menjelang eksekusi hukuman mati. Sedangkan kematian Pythagoras tertutup kabut sejarah, misterius dan kontroversial.

Sepeninggalnya Pythagoras, padepokan tidak terurus dan kehilangan figur sentral yang selama itu dijadikan panutan. Bahkan mazhab Pythagorean selanjutnya terpecah menjadi dua aliran.

Aliran pertama lebih menekankan praktek mental-spiritual ketat dan bersifat mistis-metafisis atau disebut aliran akusmatikoi. Sedangkan aliran kedua lebih menekankan penyelidikan-penyelidikan ilmu alam dengan dilandasi matematika dan metode ilmiah atau disebut aliran mathematikoi.

Mereka pun berpencar ke kampung asal di berbagai penjuru Yunani dan Italia. Walau secara fisik padepokan Pythagoras sudah bubar karena tak ada lagi tokoh sentralnya, namun ajaran-ajaran Pythagoras tetap berkembang. Justru dengan menyebarnya para pengikut ke berbagai penjuru, filsafat Pythagoras tidak lagi hanya merupakan ilmu rahasia yang cuma berkutat di sekeliling padepokan. Terbukti warisan Pythagoras masih terus dikaji, dipelajari, digali, terus dan terus tanpa henti.


Menurut kesaksian Iamblikhos dan Diogenes (412-323 SM), perkumpulan Pythagoras bukanlah merupakan gerakan politik sebagai ditudingkan oleh pihak-pihak yang tidak menyukai kegiatan mazhab Pythagorean. Mereka murni melakukan aktivitas filsafat praktis disertai ritual spiritual tertentu dan penyelidikan-penyelidikan bidang matematika, astronomi maupun ilmu alam pada umumnya.

Padepokan Pythagoras benar telah ditelan bumi, musnah tanpa bekas. Tetapi ajaran-ajaran filsafat Pythagoras tak pernah mati. Tetap mempesona dan penuh keajaiban.




Sekitar Mitos Pythagoras


Lazimnya tokoh-tokoh besar yang melegenda sepanjang zaman, sejarah kehidupan Pythagoras juga diwarnai bermacam mitos atau kemukjizatan. Padahal tidak seluruh ihwal kehidupan pribadi Pythagoras benar-benar terjadi pada dirinya. Terutama mitos yang menyatakan, bahwa Pythagoras adalah anak dewa Apollo.

Ada lagi kemukjizatan yang menasbihkan bahwa Pythagoras mengetahui ihwal dia sebelum menjadi Pythagoras adalah lebih dahulu hidup dengan nama Euphorbos, Hermotimos dan Pyrrhos. Kemukjizatan semacam itu tampak sekali dipengaruhi oleh pandangan mengenai inkarnasi atau perpindahan jiwa yang memang diajarkan Pythagoras. Sudah barang tentu ini sesuatu hal yang sangat dilebih-lebihkan oleh para pengikutnya. Semacam mitos yang pada umumnya ditempelkan pada tokoh besar.

Memang Pythagoras dan murid-muridnya percaya akan perpindahan jiwa, roh atau sukma-sukma. Dia dikabarkan dapat melihat 99 ribu inkarnasi secara berturut-turut. Menurut Pythagoras, roh adalah sesuatu yang berdiri sendiri serta tidak akan pernah mati. Roh terbelenggu dalam tubuh badaniah dan hanya dapat dibebaskan sepenuhnya setelah si tubuh badaniah mati. Roh yang senantiasa dipelihara kesuciaannya selama masih bersatu dalam tubuh badaniah akan lebih cepat mencapai kebahagiaan sejati daripada roh yang semasa terbelenggu tubuh badaniah tidak dilatih memelihara kesucian.


Berlandaskan Akal Budi dan Moralitas

Sejak masa kehidupannya ajaran filsafat angka Pythagoras memperoleh tanggapan bermacam-macam antara yang setuju lantas jadi pengikutnya maupun yang tidak setuju, bahkan memusuhinya. Meskipun menimbulkan pro-kontra, Pythagoras beserta para pengikutnya terus mendalami kajian filsafat angka dengan tekun dan tidak pernah gentar karena berlandaskan pada kebersihan jiwa dan kejernihan akal budi.

Dalam kehidupan pribadi sehari-hari, sebagaimana dicatat sejarah, Pythagoras disukai banyak orang. Tetapi fakta sejarah juga menunjukkan, penguasa pada zamannya tampak tidak menyukai Pythagoras. Pemerintahan pada masa itu dikuasai Polykrates yang otoriter. Pythagoras terang-terangan berlawanan dengan pemerintahan tirani atau istilah Yunaninya, tyrannos. Ini sama seperti yang dialami Socrates (469-399 SM) atau satu abad lebih di kemudian hari sepeninggal Pythagoras.

Sikap kedua filsuf besar yang sama-sama berpengaruh dalam sistem filsafat Yunani pada umumnya, amatlah kritis terhadap penguasa lalim dan sewenang-wenang pada rakyat. Bedanya Pythagoras lebih memilih meninggalkan kampung halaman, sedangkan Socrates berjuang melawan kepongahan penguasa hingga akhirnya dieksekusi hukuman mati dengan cara meminum racun. Dalam bingkai tragedi serupa itu, mereka telah mempertaruhkan idealisme berpikir logis-ilmiah dan penuh kejujuran dengan risiko hilangnya jiwa.


Masa Kehidupan Pythagoras sezaman dengan filsuf Yunani Klasik lainnya seperti Xenophanes (570-480 SM), Anaximenes (538-480 SM), Anaximandros (610-540 SM) dan Herakleitos (540-480 SM). Di antara para filsuf itu yang paling tajam melontarkan kritik terhadap pandangan Pythagoras adalah Herakleitos. Namun Herakleitos pulalah dengan terbuka menyatakan, bagaimanapun Pythagoras memiliki keunggulan yang tidak dimiliki oleh filsuf lainnya .


Lazimnya para filosuf pada zaman Yunani klasik, mereka tidak meninggalkan kitab tertulis. Nampaknya itu terjadi juga pada masa Pythagoras, bahkan hingga masa Socrates (469 – 399 SM). Barulah pada masa Plato (427 – 347 SM) dan dilanjutkan masa Aristoteles (384 – 322 SM), para filsuf mulai mentradisikan menulis kitab untuk mengabadikan pokok-pokok pikirannya. Misal Plato mewariskan kitab-kitab bertajuk, Apologia, Politeia, Tiamios dan yang paling terkenal berjudul Republic.

Pythagoras dan filsuf lain sezamannya tidak meninggalkan kitab tertulis, tetapi mempunyai murid-murid yang melanjutkan ajaran-ajarannya dari zaman ke zaman. Mengingat ajaran-ajaran Pythagoras disampaikan secara lisan dan memiliki banyak pengikut, sudah barang tentu bercampur aduklah antara ajaran pokok Pythagoras yang orisinil dengan berbagai tafsir yang muncul kemudian. Walhasil sulit dibedakan mana yang benar-benar berasal dari Pythagoras dan mana pula yang merupakan tambahan para pengikutnya.

Apalagi para muridnya selalu menyatakan “authos epha”, artinya Pythagoras sendiri telah mengatakan begitu setiap kali orang lain mempertanyakan dalil-dalil yang diungkapkan sebagai ajaran Pythagoras. Dengan demikian pembahasan akan berhenti sampai di situ dan memang begitulah yang dikembangkan oleh mazhab Pythagorean.

Namun sebagaimana dikemukakan Plato dalam berbagai karyanya, ajaran Pythagoras memiliki tempat khusus dalam perkembangan alam pikiran Yunani. Dengan demikian Pythagoras dan ajaran-ajarannya terus diperbincangkan dari zaman ke zaman. Kontribusi pemikiran Pythagoras beserta pengikutnya memiliki pesona yang tak lekang di panas tak lapuk di hujan. Ajaran filsafat angka Pythagoras tidaklah bertentangan dengan iman agama manapun.


Pythagoras dan para pengikutnya melakukan penyelidikan-penyelidikan dengan jiwa yang selalu dijaga kebersihannya, bergerak dengan moralitas dan meninggikan akal budi. Kejujuran ilmiah yang disebarluaskan Pythagoras selalu diambil hikmahnya bagi generasi-generasi kemudian, termasuk filsuf besar Plato yang cukup banyak menyitir pandangan Pythagoras dalam berbagai karyanya.


Sebagai filsuf, cara Pythagoras bekerja merumuskan dalil-dalil filsafatnya selalu berpijak pada ketinggian moral budi manusia. Sistem filsafat Pythagoras yang menyelaraskan ilmu-ilmu pasti seperti matematika, ilmu alam maupun astronomi dengan kepercayaan mistis-religius tidak saja hanya mempengaruhi sistem filsafat Plato. Kalau menyangkut pengaruh Pythagoras dalam sistem filsafat Plato sudah sangat jelas tiada terbantahkan.

Bertrand Russell (1872-1969) menulis, “ Saya tak tahu siapa yang paling berpengaruh sama seperti Pythagoras dalam dunia pemikiran. Saya katakan hal ini, sebab apa yang tampak sebagai Platonisme, ternyata, bila dianalisa dalam hakikatnya adalah ajaran Pythagoras. Konsepsi dunia dari dunia abadi, yang nyata bagi intelek, tapi tidak dirasakan, adalah dari dia (yakni Pythagoras). Tanpa Pythagoras, orang-orang Kristen tak kan mempunyai pemandangan tentang Kristus selaku Firman (Kalam), tanpa dia juga teolog-teolog tak akan mencari bukti-bukti logis untuk Allah dan kekekalan. Dalam Pythagoras semuanya ini termasuk.”

Masih menurut Russel, “Kombinasi matematika dengan teologi yang dimulai oleh Pythagoras, menandai filsafat religius di Yunani, filsafat Abad Pertengahan dan filsafat modern sampai kepada Kant.“

Demikianlah pengaruh Pythagoras meresap dalam sitem filsafat Plato hingga Santo Agustinus (354-430), Thomas Aquinas (1225-1274), Rene Descartes (1596-1650), Baruch Spinoza (1632-1677), Leibnitz (1646-1716) hingga Imanuel Kant (1724-1804). Para filosuf itu semuanya membangun sistem filsafat berdasarkan harmoni akal budi dan keimanan agama, harmoni kekaguman rasio logis terhadap segala sesuatu yang tak terikat oleh waktu dengan moral kesusilaan.

Sistem filsafat model Pythagoras dengan penuh keharmonisan antara akal budi dan tafsir metafisis itulah yang sangat membedakan dengan metafisika Timur atau Asia-Afrika yang jauh lebih mistis dan sulit diselaraskan dengan rasio logis. Pada Pythagoras dan para pengikutnya beserta para filosuf yang terinspirasi oleh sistem filsafatnya, metafisika angka-angka Pythagoras menjadi lengkap ilmiah.

Walau tidak mutlak seluruhnya adalah benar, namun niscaya ada kebenaran-kebenaran yang telah teruji dalam tempaan zaman. Filsafat angka Pythagoras menyimpan keajaiban.

Siapapun yang mendalami keajaiban angka-angka diniscayakan semakin terpesona. Selanjutnya akan terus berhasrat dan terus berhasrat menggali kedalaman makna angka demi angka. Pythagoras adalah tokoh hebat dalam filsafat angka. Dialah guru pertama kita memahami seluk-beluk filosofi angka-angka. Dalil ajaran pokok Pythagoras adalah bahwa segala sesuatu dalam jagat raya alam semesta ini hakikatnya berasal dari angka-angka. Tidak ada satu pun hal yang tidak berkaitan dengan angka-angka. Segalanya dipengaruhi angka-angka.




Pencapaian Pythagoras dan Pengaruhnya


Prestasi Pythagoras dan para pengikutnya, selain di bidang penyelidikan angka-angka, juga penyelidikan di bidang astronomi dicatat mengungguli orang-orang sezamannya. Mereka bukan hanya memandang bumi berbentuk bola, melainkan bintang-bintang satu per satu sebagai bola-bola terang yang berputar keliling api sentral dalam pinggan-pinggan trasparan berbentuk bola, yaitu angkasa-angkasa.

Diteorikan, jagad raya alam semesta ini terdiri dari kesatuan bintang-bintang atau bola-bola terang sebanyak sembilan gugusan. Ditambah dengan api sentral jumlahnya total menjadi sepuluh. Gugusan bintang beserta api sentral tersebut yaitu: Saturnus, Jupiter, Mars, Venus, Mercurius, Matahari, Bulan, Bumi, Kontra Bumi dan Api Sentral itu sendiri.

Penyebutan gugusan bintang yang sebanyak sembilan itu tampaknya diselaraskan dengan hitungan angka tunggal atau satu digit yang memang hanya terdiri dari angka 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8 dan 9. Bilangan angka-angka tersebut tidak akan pernah mencapai keselarasan, keharmonian dalam alam semesta apabila tidak ada angka yang disimbolkan sebagai pusat jagat raya atau api sentral. Bilangan nol itulah yang ditetapkan sebagai api sentral sekaligus simbol kesempurnaan harmoni kehidupan. Api sentral itu bila disimbolkan pada angka menjadi urutan ke 10 dan bila dikembalikan pada hakikatnya sebagai satu kesatuan sama juga kembali menjadi 1.

Sejak dahulu kala sebelum Pythagoras dan para pengikutnya menetapkan sistem harmoni alam semesta semacam itu, angka 10 memang sudah ditafsirkan sebagai angka keramat karena merupakan hasil penjumlahan empat bilangan pertama, yaitu 1,2,3 dan 4. Keselarasan akhir angka sepuluh yang tidak lain apabila dikembalikan kepada hakikatnya sebagai satu kesatuan adalah juga 1, maka angka sepuluh dinyatakan sebagai penyempurna keharmonian.



Penetapan angka 10 sebagai simbol penyelaras satu kesatuan angka 1 hingga 9 itu mewujudkan pula seluruh kenyataan alam jagat raya semesta, memperdamaikan hal-hal yang saling berlawanan.

Menurut Pythagoras ada 10 asas yang saling berlawanan, yaitu: terbatas dan tidak terbatas, ganjil dan genap, lelaki dan perempuan, baik dan jahat, kanan dan kiri, diam dan gerak, terang dan gelap, lurus dan bengkok, tunggal dan banyak serta persegi dan bulat panjang.

Menyangkut pengertian tunggal dan banyak dalam hitungan bilangan, nampak seperti tidak ada batasnya. Bila kita melakukan membilang hitungan benar tidak terbatas alias tak bakal mampu sampai hitungan berapa sesungguhnya bilangan akan berakhir. Dalam sistem filsafat angka Pythagoras, yang tiada berbatas itu pada hakikatnya akan kembali kepada yang terbatas. Berapapun hitungan bilangan yang banyaknya disebut tidak terbatas pada hakikatnya akan kembali pada bilangan yang pasti terbatas dan kembali lagi pada sifat tunggalnya (satu digit).

Betapa benarnya tafsir filsafat angka Pythagoras bahwa yang banyak itu sebenarnya ya akan kembali pada yang tunggal dan yang tak terbatas itu akan kembali pada yang terbatas. Berapapun banyak hitungan bilangan hingga tidak terbatas pasti dapat dikembalikan pada hitungan bilangan tunggal yang jumlahnya terbatas saja dari angka 1 sampai dengan 9.

Begitulah filsafat Pythagoras dan para pengikutnya yang dijuluki Pythagoreanisme dapat dikemukakan berpangkal pada ajaran mengenai matematika, astronomi, dan moral kesusilaan atau moral keagamaan. Filsafat Pythagoras bercorak dualisme yang memisahkan secara ketat dan tegas antara akal budi rasio logis dengan indera, antara jiwa dengan badan, antara bentuk-bentuk matematis dari benda-benda dengan penampakan benda-benda yang dapat dicerap.

Mazhab Pythagorean berpandangan bahwa substansi dari segenap yang ada adalah bilangan angka-angka. Seluruh gejala alam semesta merupakan pengungkapan inderawi dari perbandingan-perbandingan matematis. Dengan demikian bilangan angka-angka merupakan intisari dan dasar fundamental dari segala sesuatu di alam jagad raya semesta ini.

Begitulah Pythagoras dengan perguruannya tidak hanya mendalami makna angka-angka. Tetapi juga mencakup bidang yang amat luas. Mulai dari astronomi, fisika, geometri dan tentu saja matematika hingga spiritualitas. Hasil tertinggi lainnya yang dicapai oleh Pythagoras bersama para pengikutnya di bidang musik adalah penemuan mengenai nada-nada musik dan kecepatan-kecepatan yang dapat ditangkap oleh pancaindera manusia. Penemuan penting ini menguatkan dalil Pythagoras, betapa supremasi angka-angka memperlihatkan kebenarannya. Musik akhirnya dapat ditangkap dan takluk kepada angka-angka. Tangga nada dinyatakan melalui angka-angka dan hakekatnya terdapat dalam angka-angka.

Sedangkan di bidang ilmu pasti, disumbangkannya dalil mengenai segitiga siku-siku yang sampai sekarang masih terus diajarkan di sekolah-sekolah. Kaum terpelajar pasti mempelajari teori Pythagoras, bahwa kuadrat dari dua sisi suatu segitiga siku-siku sama dengan kuadrat dari sisi ketiga. Ajaran-ajaran Pythagoras memiliki pengaruh yang tak terbantahkan hingga zaman modern, bahkan hingga kelak sampai kapan pun.

Demikian halnya dengan ilmu pengetahuan modern memiliki jejak yang panjang berdasar matematika Pythagoras. Kontribusi Pythagoras dengan terang-benderang diakui oleh Eukleides (300 SM) ahli matematika legendaris yang juga berasal dari Yunani. Kitab matematika klasik Eukleides bertitel, Elementa terdiri 11 jilid, separuhnya diakui berasal dari matematika rumusan Pythagoras.

Aksioma dan postulat yang dikembangkan Eukleides tak terelakkan sangat beraroma Pythagorean. Aksioma adalah pernyataan yang berlaku umum. Sedangkan postulat adalah pernyataan khas yang hanya berlaku untuk bidang tertentu, misalnya sebatas geometri saja. Baik aksioma maupun postulat, keduanya merupakan penyederhanaan permasalahan serta tidak perlu diberdebatkan lagi kebenarannya karena di dalam dirinya sendiri sudah melekat kebenaran itu sendiri.

Aksioma Eukleides mendalilkan lima hal di bidang matematika secara umum. Yaitu, pertama: benda-benda yang masing-masing sama dengan suatu benda lain, juga sama terhadap sesamanya. Kedua: apabila yang sama dijumlahkan ke yang sama juga, maka keseluruhannya akan sama juga. Ketiga, apabila yang sama dikurangkan dari yang sama juga, maka sisanya pun sama juga. Keempat: benda-benda yang dapat saling menutupi, sama terhadap sesamanya. Kelima: keseluruhan lebih besar daripada sebagian.

Adapun mengenai postulat juga mendalilkan lima hal di bidang gemometri. Pertama: suatu garis lurus dapat ditarik dari sembarang titik ke sembarang titik lain. Kedua: setiap ruas garis lurus dapat diperpanjang terus-menerus mengikuti garis lurus juga. Ketiga: jika ditentukan suatu titik tertentu dan suatu jarak tertentu, maka dengan menggunakan titik itu sebagai pusat serta jarak tadi dengan jari-jari, dapat dilukis suatu lingkaran. Keempat: setiap sudut siku sama dengan setiap sudut siku lain. Kelima: jika diketahui suatu garis lurus tertentu, maka melalui suatu titik sembarang di luar garis itu dapat dilukiskan satu dan hanya satu garis lurus yang diketahui itu.


Kendati dinyatakan tak terbantahkan, aksioma maupun postulat yang sebagian besar diserap dari mazhab Pythagorean, namun penyelidikan tetap selalu dilakukan oleh para ahli matematika yang datang di zaman kemudian.

Di dalam sejarahnya, berulang-ulang diusahakan untuk meniadakan postulat kelima dan menurunkannya sebagai teori belaka. Mula-mula oleh Ptolemaios (150 SM). Tetapi pada abad 5 Masehi, Proklus mengoreksi bahwa Ptolemaios tidak sahih dan menyatakan Euclides sahih, yang berarti tidak mengelak pula dari mazhab Pythagoras. Begitu pula yang dicoba ahli matematika Islam Nasruddin (1201-1274) dan John Wallis (1616-1703) sama-sama tidak dapat menggugurkan postulat tersebut.

Barulah pada abad kesembilan belas, ahli matematika Carl Friedrich Gaus (1777-1885), Nikolai Ivanovich Labochevskii (1793-1856) dan Janos Bolyai (1802-1960) secara sendiri-sendiri dan terpisah mengubah postulat kelima. Bunyinya menjadi: melalui sebuah titik di luar suatu garis dapat ditarik sekurang-kurangnya dua buah garis yang tidak memotong garis tadi.

Uraian tersebut untuk menunjukkan betapa filsafat matematika Pythagoras selalu memberikan inspirasi bagi perkembangan baru pada zaman-zaman jauh setelah masa hidupnya. Hal serupa juga diperlihatkan dalam sejarah astronomi. Nicolaus Copernicus (1473-1543) ahli astronomi berkebangsaan Polandia dengan nama asli Mikolaj Kopernik terang-terangan pula menyatakan memperoleh inspirasi dari mazhab Pythagorean ketika hasrat ilmiahnya terdorong untuk melakukan penyelidikan-penyelidikan astronomis.

Dari ajaran Pythagoras mengenai bumi dan planit-planit lainnya yang mengitari api sentral, lalu di tangan Aristachus (270 SM) sebutan api sentral itu disetarakan sebagai matahari, bersemangatlah Copernicus untuk menyelidikinya lebih intensif. Prinsip dasar astronomi Pythagoras dengan teori yang sangat terkenal sebagai heliosentrisme itulah dari zaman ke zaman mengalami pergolakan dengan teori sebaliknya yang berlawanan secara diametral, yaitu geosentrisme.

Tokoh astronomi modern seperti Copernicus dan lebih diperkuat lagi oleh pembuktian Galileo Galilei (1564-1642), apa yang disajikan oleh Pythagoras beserta para pengikut dalam mazhab Pythagorean adalah benar adanya. Bukanlah bumi yang menjadi pusat edar alam jagat raya semesta ini, melainkan matahari (dalam teori Pythagoras ditunjuk api sentral) sebagai pusat edar dan justru bumi maupun planet-planet lainnya yang berkeliling atau berputar mengitari matahari.


Sejarah memperlihatkan tokoh-tokoh astronomi yang menegakkan prinsip heliosentrisme harus berhadap-hadapan dengan kekuasaan. Misalnya Copernicus yang telah sekian lama menulis buku De Revolutionibus Orbium Coelestium (Tentang Revolusi Bulatan Benda-benda Langit) untuk menegaskan kebenaran teori heliosentrisme terus-menerus dalam pengawasan kekuasaan gereja. Barulah menjelang ajalnya buku itu boleh diterbitkan dan satu hari sebelum meninggalnya, Copernicus diperlihatkan buku cetakan pertamanya oleh penerbit yang mengaku dalam posisi tertekan. Namun bukunya tetap beredar dari tangan ke tangan sepeninggal Copernicus.

Nasib Galileo Galilei lebih dramatis lagi. Dukungannya terhadap teori heliosentrisme menyebabkan dia berhadap-hadapan dengan kalangan gereja yang habis-habisan membela teori geosentrisme. Tekanan kekuasaan gereja mencapai puncaknya pada tahun 1616. Ahli astronomi kelahiran Pisa, Italia itu ditekan supaya tidak menyebarkan hipotesa heliosentrisme warisan Pythagoras yang didengungkan lebih dahsyat lagi melalui buku Copernicus. Akibat tekanan kekuasaan gereja itu, Galileo Galilei merasa tertekan dan depresif. Namun adanya pergantian Paus pada 1623, yaitu dengan naiknya Paus Urban VIII, keleluasaan melakukan penyelidikan ilmiah diberikan pada Galileo.


Segeralah Galileo menerbitkan buku mengenai pertarungan heliosentrisme melawan geosentrisme dan terang-terangan menyatakan dukungan pada terori heliosentrisme. Buku itu terbit tahun 1632. Konflik terbuka dengan kekuasaan gereja kembali terjadi. Galileo kemudian diseret ke muka Pengadilan di Roma dengan tuduhan melanggar larangan tahun 1616. Di pengadilan terbuka itu Galileo dipaksa membatalkan dukungannya pada teori heliosentrisme dan sebaliknya harus menyatakan bahwa teori geosentrisme sebagai faham resmi gereja adalah yang mutlak benar. Galileo dipaksa berseru bahwa bumi berputar mengelilingi matahari. Dengan terpaksa Galileo menunduk dan berkata lirih. Akhirnya hukuman Galileo diperingan sedikit. Dia tidak dijebloskan ke penjara terali besi, namun dihukum tahanan rumah. Ilmuwan berusia 69 tahun itu hanya bisa mengelus dada.

Walau Galileo maupun Copernicus ditindas penguasa, namun prinsip-prinsip yang diyakininya tidaklah dapat dilenyapkan. Sekiranya Pythagoras dapat menyaksikan dari alam abadi bagaimana tokoh-tokoh di kemudian hari turut memperjuangkan kebenaran prinsi-prinsip ajarannya, niscaya akan memberikan apllaus tiada akhir.

Demikianlah bagaimana sejarah mencatat betapa filsafat Pythagoras terus-menerus memberikan inspirasi bagi kemajuan pemikian umat manusia, baik itu menyangkut bidang matematika, astronomi maupun lebih khusus lagi mengenai filsafat angka beserta segala tafsirnya.

Memang harus diakui, sejak peradaban manusia muncul di muka bumi, angka-angka sudah ada. Tetapi belum ada seorang pun yang meluangkan waktu dan pemikirannya untuk menyelidiki secara mendalam hakikat angka-angka. Di dalam usaha Pythagoras dan murid-muridnya itulah angka-angka diselidiki secara terus-menerus. Ditemukanlah bahwa sifat angka-angka itu berdiri sendiri dan samasekali bebas dari segala pengaruh orang yang suka berbuat semena-mena.


Pythagoras dan para ahli yang mengikuti ajarannya berkeyakinan bahwa angka-angka selain merupakan rumus yang berdasar kepada tata tertib sesuai sifatnya masing-masing, juga merupakan gambaran kehidupan alam semesta.


Pujian Bertrand Russel

Tidak dipungkiri, ajaran filsafat angka Pythagoras oleh sebagian kalangan filsuf diperdebatkan dan dianggap berlebihan. Penghargaan terhadap angka-angka dengan
berbagai sifatnya masing-masing sering mengundang keheranan bagi yang belum mempelajarinya. Namun dalam rentangan waktu yang panjang melampaui ribuan tahun, mutiaran kebenaran filsafat Pythagoras tetap terpelihara dan diakui para ahli di kemudian hari. Jika hanya kebohongan niscayalah tidak ada orang mau berusaha keras mendalaminya. Boleh saja bagi yang tidak sepandangan dengan Pythagoras menggeleng-gelengkan kepala sambil terheran-heran.

Filsuf modern yang juga ahli matematika, Bertrand Russel menyatakan keheranan dan kebingungannya terhadap filsafat Pythagoras. Namun melebihi keheranan dan kebingungannya, ahli filsafat berkebangsaan Inggris ini tetap mengapresiasi keintelektualan mistisisme angka-angka. Sangat boleh jadi Pythagoras yang pada masa itu dikenal ahli matematika, kemudian menukik sangat dalam dan mungkin tanpa disadari lambat laun bergeser dari ilmu angka-angka realita-obyektif menuju ilmu angka-angka metafisis. Kata Bertrand Russel, “Di sini Pythagoras berdiri pada pihak mistik dari macam yang teramat intelektualistis.” Jadi, walaupun ilmu angka-angka itu memuncak pada mistisisme, namun Pythagoras tetap bersifat intelektual.

Bagi siapapun yang belajar matematika hanya di permukaan kulitnya saja tanpa rasa nikmat dan suka cita untuk mendalami lebih lanjut, angka-angka seolah tiada bermakna apa-apa kecuali berguna untuk membilang belaka. Tetapi bagi siapapun yang penuh kedalaman menghayati angka-angka dengan penuh rasa suka cita, ajaran-ajaran filsafat angka Pythagoras akan tampak lengkap alamiah, sungguhpun mungkin pula tampak metafisis, bahkan spekulatif.

Bagaimanapun, angka-angka dengan segala harmoninya merupakan sendi-sendi ajaran filsafat Pythagoras dan menjadi kekuatan yang menjelmakan segala sesuatu yang ada. Sifat-sifat angka memberi pengetahuan serta pengertian kepada siapapun yang ingin mengadakan penyelidikan mengenai apapun yang ingin diketahuinya.

Seandainya angka-angka tidak ada, bagi manusia tidak akan ada barang apapun yang dapat menjadi jelas, baik pada dirinya sendiri maupun dalam hubungan dengan barang-barang lain. Bentuk, isi dan hakikat segala apapun tidak akan pernah lepas dari angka-angka. Sifat angka-angka mustahil mengandung ketidakbenaran.

Karena itu sangat jelas, tak dapat dicegah pula oleh siapapun apabila angka-angka diberikan makna metafisis dengan berbagai sifatnya.


Pythagoras dan para pengikutnya hingga akhir zaman tidak akan pernah menafikan, tidak akan pernah memustahilkan, tidak akan pernah menyangkal betapa angka-angka dengan segala sifatnya menjadi sendi-sendi keberadaan apapun di jagad raya alam semesta ini. Bahkan Pythagoras dan pengikutnya hingga akhir zaman mempercayai kebenaran dari sifat angka-angka itu.

1 komentar:

Leo-Nardo mengatakan...

penjelasan dalil phytagoras nya mana gan?