Kamis, 29 Juli 2010

BIARKAN MOTOR MELAJU DI JAKARTA, JANGAN JADIKAN KAMBING HITAM



Oleh Suhening Sutardi
Anggota Badan Pendiri INSTRAN
(Institut Studi Transportasi)

Sepeda Motor saat ini sedang jadi kambing hitam. Ancaman nyata, bahkan tindakan diskriminatif terhadap motor telah dilakukan oleh pemerintah yang tidak becus mengelola transportasi kota Jakarta. Motor bagai barang najis yang tidak boleh menyentuh jalan protocol semacam Thamrin. Bukan tidak mungkin cara-cara otoriter dan arogan terus dinajutkan sehingga motor akan bernasib seperti becak yang tak boleh masuk jalanan kota Jakarta.

Para pejabat paling senang menuding motor sebagai biang keladi kemacetan. Contohnya seperti Sutiyoso ketika menjabat Gubernur DKI Jakarta berulangkali mewacanakan pelarangan motor di jalanan Jakarta. Bahkan dalam acara komunitas busway di Jakarta beberapa bulan lalu, mantan gubernur itu berulang-ulang menyatakan keprihatinannya terhadap peningkatan jumlah sepeda motor. Para pengamat transportasi pun sering memblow-up bertambahnya motor sebagai keprihatinan mendalam. Motor juga diancam tidak akan memperoleh subsidi BBM.

Saya pribadi tidak memiliki motor. Setiap hari lebih banyak menggunakan jasa angkutan umum (angkot, metromini) dan kereta listrik. Tidak ada kepentingan pribadi atau kepentingan bisnis untuk membela keberadaan motor. Ada penjungkirbalikan atau semacam kerancuan berpikir dari para pejabat maupun pengamat transportasi yang menuding motor sebagai biang kemacetan di Jakarta.

Masyarakat memilih menggunakan motor ada logikanya yang memadai, bahkan rasional sekali. Para pejabat dan pengamat transportasi yang tidak berpihak pada motor tentu dapat mengurai sendiri logika tersebut. Mereka yang mengharamkan motor melaju di jalanan protokol kota Jakarta menyembunyikan kepentingan-kepentingan tertentu dan selalu mengatasnamakan untuk kepentingan publik.

Apakah para pejabat transportasi bersedia melakukan regulasi yang fair dan tidak diskriminatif? Ayo kita buktikan dengan uji coba di lapangan. Kita biarkan selama sebulan penuh motor memenuhi jalanan kota Jakarta tanpa satu pun adanya mobil pribadi (baik itu plat hitam maupun plat merah) yang sesungguhnya paling banyak makan space jalan. Pada bulan berikutnya giliran motor tidak boleh satu pun melintas jalanan protokol kota Jakarta. Ayo kita buktikan, manakah sesungguhnya biang kemacetan itu. Motor ataukan mobil pribadi?!

Sungguh kita sedih menyaksikan para pejabat dan pengamat transportasi berakrobat menjadikan motor sebagai kambing hitam. Ketika saya berteriak lantang tentang masalah ini di kantor INSTRAN di kawasan Kalibata, Jakarta Selatan, dengan santai Darmaningtyas berkomentar. Mengapa motor dijadikan kambing hitam? Pertanyaan Direktur Eksekutif INSTRAN itu tidak saya tanggapi dan kemudian dijawabnya sendiri. “Itu karena banyak motor berwarna hitam…,” ujar Darmaningtyas lalu bergegas pergi untuk menghadiri acara bertopik 'Stop Motor Stop Macet' di tv one..

Tentu ujaran tidak serius itu tidak perlu ditanggapi karena sekadar untuk meluruhkan kesewotan saya tentang makin mengganasnya perlakuan diskriminatif terhadap motor.

Namun, bagi para pengguna sepeda motor, kita masih dapat berharap adanya pembela motor. Misalnya pernyataan Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi menilai pelarangan penggunaan sepeda motor di jalan protokol seperti Jalan MH Thamrin-Jenderal Sudirman adalah bentuk pelanggaran hak masyarakat yang memprihatinkan. Mestinya cukup dilakukan pengaturan, misalnya dengan pembuatan jalur khusus sepeda motor atau pembatasan jam.

"Memang kalau dibiarkan, semua juga bisa nggak nyaman. Tapi kebijakan harus dibuat secara komprehensif, jangan sepotong-potong," ujarnya.

Tulus menambahkan, inisiatif warga membeli sepeda motor merupakan bagian lain dari bentuk perlawanan masyarakat terhadap ketidakmampuan pemerintah menyediakan sarana transportasi yang mudah, murah, cepat, dan aman. "Justru kalau mau jujur, yang mengambil ruang jalan lebih besar adalah mobil. Pengaturan pengguna mobil semestinya juga lebih ketat, jangan fokus pada sepeda motor saja," tuturnya.

Nah, cara berpikir Tulus itu boleh kita sebut lurus. Sedangkan pejabat atau aktivis yang menghinakan keberadaan motor, kalau tidak rancu caranya berlogika, sangat boleh jadi punya kepentingan proyek maupun bisnis tertentu. Kita harus lawan pihak-pihak yang mengharamkan motor di jalanan kota Jakarta. Biarkan motor melaju di Jakarta dan jangan jadikan kambing hitam! Tak peduli itu motor berwarna hitam, biru, merah atau bahkan warna hitam sekalipun!

(Suhening Sutardi secara resmi tercatat sebagai anggota Badan Pendiri INSTRAN, lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang transportasi yang beradab dan berkelanjutan).

Tidak ada komentar: